How Not to Commit Idolatry in Giving Thanks/id

From Gospel Translations

Revision as of 16:20, 29 August 2007 by Mahra (Talk | contribs)
Jump to:navigation, search
About This Resource
This text is provided in partnership with Desiring God. We're grateful for their help in making biblical resources accessible to Christians all around the world!

Published: {{{date}}}
Translator: {{{translator}}}
Author(s): John Piper
Status: Not Reviewed
Editor: None


Related resources
More By
Author Index
More About
Topic Index
About this resource

©

Share this
Our Mission
This resource is published by Gospel Translations, an online ministry that exists to make gospel-centered books and articles available for free in every nation and language.

Learn more (English).

By About

Jonathan Edwards on True Thanksgiving


Jonathan Edwards has a word for our time that could hardly be more pointed if he were living today. It has to do with the foundation of gratitude.

True gratitude or thankfulness to God for his kindness to us, arises from a foundation laid before, of love to God for what he is in himself; whereas a natural gratitude has no such antecedent foundation. The gracious stirrings of grateful affection to God, for kindness received, always are from a stock of love already in the heart, established in the first place on other grounds, viz. God's own excellency.[1]

In other words, gratitude that is pleasing to God is not first a delight in the benefits God gives (though that is part of it). True gratitude must be rooted in something else that comes first, namely, a delight in the beauty and excellency of God's character. If this is not the foundation of our gratitude, then it is not above what the "natural man," apart from the Spirit and the new nature in Christ, experiences. In that case "gratitude" to God is no more pleasing to God than all the other emotions which unbelievers have without delighting in him.

You would not be honored if I thanked you often for your gifts to me, but had no deep and spontaneous regard for you as a person. You would feel insulted, no matter how much I thanked you for your gifts. If your character and personality do not attract me or give me joy in being around you, then you will just feel used, like a tool or a machine to produce the things I really love.

So it is with God. If we are not captured by his personality and character, then all our declarations of thanksgiving are like the gratitude of a wife to a husband for the money she gets from him to use in her affair with another man. This is exactly the picture in James 4:3-4. James criticizes the motives of prayer that treats God like a cuckold: "You ask and do not receive, because you ask with wrong motives, so that you may spend it on your pleasures. You adulteresses, do you not know that friendship with the world is hostility toward God?" Why does he call these praying people "adulteresses"? Because, even though praying, they are forsaking their husband (God) and going after a paramour (the world). And to make matters worse, they are asking their husband (in prayer) to fund the adultery.

Amazingly, this same flawed spiritual dynamic is sometimes true when people thank God for sending Christ to die for them. Perhaps you have heard people say how thankful we should be for the death of Christ because it shows how much value God puts upon us. What is the foundation of this gratitude?

Jonathan Edwards calls it the gratitude of hypocrites. Why? Because,

they first rejoice, and are elevated with the fact that they are made much of by God; and then on that ground, he seems in a sort, lovely to them....They are pleased in the highest degree, in hearing how much God and Christ make of them. So that their joy is really a joy in themselves, and not in God.[2]

It is a shocking thing to learn that one of today's most common descriptions of how to respond to the cross may well be a description of natural self-love with no spiritual value.

We do well to listen to Jonathan Edwards. Does he not simply spell out for us the Biblical truth that we should do all things-including giving thanks-to the glory of God (1 Corinthians 10:31)? And God is not glorified if the foundation of our gratitude is the worth of the gift and not the excellency of the Giver. If gratitude is not rooted in the beauty of God before the gift, it is probably disguised idolatry. May God grant us a heart to delight in him for who he is so that all our gratitude for his gifts will be the echo of our joy in the excellency of the Giver!

Excerpted from John Piper, A Godward Life (Sisters, Oregon: Multnomah, 1997), 213-214.

References
  1. Jonathan Edwards, Religious Affections, The Works of Jonathan Edwards, Vol. 2, New Haven: Yale University Press, 1959, orig. 1746, p.247.
  2. Jonathan Edwards, Religious Affections, pp. 250-251.

Jonathan Edwards memiliki kata-kata yang rasanya akan lebih memiliki kesan jikalau ia hidup pada jaman ini. Ini ada hubungannya dengan inti dari rasa syukur.

Rasa syukur dan terimakasih kepada Tuhan atas kebaikannya terhadap kita haruslah dilandaskan atas rasa cinta kepada diri Tuhan; tetapi rasa syukur di dalam natur manusia tidak memiliki dasar tersebut. Rasa bersyukur, yang digerakkan dari Cinta akan Tuhan atas kebaikan yang Ia berikan, haruslah selalu berasal dari rasa cinta akan Keagungan Tuhan dalam diri kita.[1]

Dengan kata lain, rasa syukur yang dapat menyenangkan hati Tuhan bukanlah berdasarkan keuntungan (berkat) yang Tuhan berikan (walaupun ini merupakan salah satu penyebab rasa syukur tersebut). Rasa syukur yang sebenarnya haruslah didasarkan atas pemikiran dari kenikmatan atas keindahahan dan keagungan dari karakter Tuhan. Apabila ini bukan landasan dari rasa syukur kita, maka kita tidak berbeda dengan orang yang tidak memiliki karunia roh kudus dan natur baru dari Kristus. Dengan begitu dapat kita lihat bahwa rasa syukur atas Tuhan yang berdasarkan berkat tidak ada bedanya dengan emosi dalam diri orang yang tidak percaya, dimana mereka tidak memiliki hati yang bersyukur kepada Tuhan.

Kamu pasti tidak akan menyukai rasa syukur yang saya berikan jikakalau saya selalu berterimakasih atas segala pemberianmu kepada ku tampa mempertimbangkan anda sebagai suatu pribadi. Tentunya anda akan merasa terhina walaupun saya mengucapkan terimakasih yang berulang kali atas pemberianmu. Jikalau karakter dan pribadi-mu tidak memberikanku rasa ketertarikan dan senang bila saya berada dekat denganmu, maka kamu akan merasa telah dimanfaatkan oleh ku, dimana anda bagaikan suatu alat yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu yang saya sukai.

Sama halnya dengan Tuhan. Jikalau kita tidak tertarik kepada pribadi dan karakter-Nya, maka rasa syukur yang kita ucapkan sama seperti rasa syukur seorang istri kepada suaminya yang telah memberikan uang yang dapat ia gunakan untuk berselingkuh dengan orang lain. Ini sejalan dengan gambaran yang diungkap kan dalam kitap Yakobus 4:3-4. Yakobus memberikan kritik terhadap motivasi doa yang memamfaatkan Tuhan sebagai suami dari wanita yang tidak setia: Kamu meminta dan tidak menerima, karena kamu telah meminta dengan alasan yang salah, dimana kamu berfikir kamu akan memakainya untuk kesenanganmu. Ya kamu yang berselingkuh, tidakkah kamu tahu bahwa persahabatan dengan dunia adalah kekejian bagi allah?” Kenapa Tuhan memanggil orang yang berdoa tersebut penyelingkuh? Ini karena, walaupun mereka berdoa, mereka meninggalkan suami mereka ( Tuhan) dan pergi mengejar pasangan selingkuhnya (dunia). Dan yang lebih keji lagi, mereka menyuruh suaminya (dalam doa) untuk membayar perselingkuhan mereka.

Yang lebih heran lagi, kerusakan dinamika rohani ini kadangkala terlihat bila orang bersyukur kepada TUhan yang telah mengirimkan Kristus untuk mati untuk mereka. Mungkin kita sering mendengar orang berkata kita harus bersyukur atas kematian Kristus karena ini menunjukan betapa besarnya harga yang Tuhan taruh kepada kita. Apakah yang melandasi rasa syukur ini?

Jonathan Edwards memanggil rasa syukur ini sebagai suatu tindakan yang munafik. Kenapa? Ini Karena:

Pertama-tama, mereka bergembira, dan mereka ditinggikan oleh Tuhan; Seolah-olah Tuhan terlihat sangat mereka kasihi…….. Mereka sangat senang dengan mendengar apa yang Tuhan dan Kristus lakukan kepada mereka.[2]

Sangat mengagetkan untuk mengetahui bahwa hal yang sangat umum sekarang dalam respon kita kepada salip merupakan ungkapan dari natur rasa cinta akan diri sendiri (egois) tampa ada nilai rohani.

Kita harusnya mendengarkan apa yang dikatakan oleh Jonathan Edwards. Bukankah ia hanya mengungkapkan kebenaran dari Alkitab dimana kita harus melakukan segalanya termasuk berterimakasih kepada kemuliaan dari Tuhan ( 1 Korintus 10:31)? Dan Tuhan tidak akan dapat dimuliakan bila dasar dari rasa syukur kita adalah atas pemberian-Nya bukan berdasarkan keagungan sang pemberi. Jikalau rasa syukur ini tidak berakarkan dari keindahan Tuhan tapi pemberian-Nya, maka ini merupakan berhala yang tersembunyi. Semoga Tuhan dapat memberikan kepada kita hati yang puas akan dirinya yang sesungguhnya; Denagn demikian rasa syukur kita terhadap pemberian-Nya merupakan ungkapan rasa puas kita akan keagungan sang pemberi.

Diambil dari John Piper, A Godward Life (hidup yang mengarah kepada Tuhan) (Sisters, Oregon: Multomah, 1997), 213-214

Catatan

  1. Jonathan Edwards, Religious Affections, The works of Jonathan Edwards, Vol. 2, New Haven: Yale University Press, 1959, orig. 1746, p.247.
  2. Jonathan Edwards, Religious Affections, pp. 250-251.
Navigation
Volunteer Tools
Other Wikis
Toolbox