This Great Salvation/The Fruits of Justification (I)/id

From Gospel Translations

Revision as of 07:12, 10 January 2008 by Sukartay (Talk | contribs)
Jump to:navigation, search

Contents

Buah-Buah Pembenaran (I)

Apakah Anda pernah memperhatikan betapa sedikitnya buku-buku Kristen yang memiliki cover menarik? Oh, ada beberapa, tentu – seperti buku Franky Schaeffer A Time for Anger, dengan lukisan dari Pieter Brueghel “Orang Buta Menuntun Orang Buta.” Lukisan itu begitu menggugah saya sehingga saya mencari kopinya dan membingkainya untuk kantor saya. Dan ada juga gambar-gambar mengagumkan di sampul Chronicles of Narnia milik C.S. Lewis yang siap membawa Anda ke sana. Salah satu sampul buku yang paling menarik yang pernah saya lihat tampak di sebuah seri pamflet. Illustrasinya menunjukkan seorang pria sedih dan kesepian yang sedang memandang kosong keluar jendela sebuah sel penjara. Saat Anda melihat, Anda menjadi sadar bahwa pintu selnya terbuka di belakangnya. Tetapi ia tidak memperhatikannya. Kalau saja ia menoleh ia akan melihat bahwa ia dapat berjalan keluar seperti orang bebas. Tetapi ia tetap terpenjara karena ketidaktahuannya sendiri.

Renungkan Lukas 4:18-19. Apakah Anda menyadari “Proklamasi Emansipasi” ini diberikan kepada Anda?

Intinya cukup jelas. Banyak orang Kristen – bukan, kebanyakan orang Kristen – adalah seperti pria ini. Secara tragis mereka tidak menyadari kebebasan dan hak-hak lebih yang adalah milik mereka melalui injil Yesus Kristus. Mereka adalah orang-orang kudus yang tidak perlu terpenjara.

"Ketika Allah mengampuni, Ia mengampuni semua dosa, dosa asal dan dosa sekarang, dosa karena kita melakukan dan dosa karena kita tidak melakukan, dosa rahasia dan dosa terbuka, dosa dalam pikiran, perkataan dan perbuatan… Pengampunan penuh, atau tidak sama sekali, adalah yang Allah ciptakan untuk berikan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan manusia. Pemberian ini tidak pernah diambil kembali oleh Allah. Ketika Ia mengampuni, Ia mengampuni selamanya[1]" — William S. Plumer "Saya harus memperhatikan apa yang saya katakan: tetapi rasul itu berkata, “Allah membuat Dia yang tidak mengenal dosa, menjadi berdosa karena kita, sehingga kita dapat dibenarkan oleh Allah di dalam Dia.” Begitulah kita di mata Allah Bapa, sama seperti Anak Allah sendiri. Biarlah hal itu dianggap bodoh atau emosi, atau luapan perasaan, apa pun, itu adalah penghiburan kita dan hikmad kita; kita tidak peduli pengetahuan lain di dunia selain ini, bahwa manusia telah berdosa dan Allah telah menderita; bahwa Allah telah membuat dirinya sendiri Anak manusia, dan bahwa manusia dibuat kebenaran Allah.”[2]" — Richard Hooker

Merubah gambaran ini sedikit saja, sejumlah budak terus hidup seperti sebelumnya bahkan setelah Proklamasi Emansipasi. Sebagian mereka tetap berada di kegelapan tentang dimana mereka sekarang berdiri. Sebagian lain, walaupun menyadari kebebasan mereka, tidak pernah berjalan keluar tempat perbudakan karena takut. Kebebasan menuntut keberanian dan membawa bersamanya tanggung jawab yang besar.

Kelihatannya injil hanya membuat perbedaan kecil dalam hidup orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya. Meskipun mereka telah sungguh dibenarkan dan penghukuman telah dibatalkan, masalah yang sama sepertinya mengganggu mereka. Ketakutan, kebiasaan, dan keraguan yang sama yang mengkarakterisasi hidup mereka sebelum mereka percaya Kristus masih tetap memegang kendali. Mengapa? Menurut saya satu alasan terbesar adalah ketidaktahuan. Bagi tidak sedikit orang Kristen, Alkitab masih menjadi buku tertutup. Fakta bahwa warisan besar telah disediakan bagi mereka yang dibenarkan oleh Allah seperti belum menjadi jelas buat mereka.

Pengetahuan akan Firman Tuhan yang terus bertumbuh adalah sangat vital. Di saat Anda membaca, menghafal dan merenungkan Firman Tuhan, Anda akan mulai merasakan penyediaan yang mengagumkan yang diberikan Allah. Dua bab terakhir dari buku ini akan mengekplorasi buah-buah dari pembenaran kita, warisan kita di dalam Kristus. Sisa keraguan yang masih ada di pikiran kita mengenai tujuan dan takdir Tuhan harus dijelaskan saat kita menginventori keuntungan-keuntungan dari keselamatan yang agung ini.

Turun dari Kursi Kayu

Gambaran sekitar doktrin pembenaran datang langsung dari pengadilan hukum, seperti yang kita pelajari di bab sebelumnya. Allah, Pemberi hukum dan Hakim dari seluruh bumi, telah mengeluarkan sebuah deklarasi yang membebaskan orang berdosa yang terhukum dari semua kesalahan. Pembenaran memberi kita status baru di hadapan Allah dan mengampuni kita dari semua dosa dan hukumannya. Walaupun kita adalah orang-orang kriminal tertuduh yang sedang menunggu dalam barisan Hukuman Mati yang tidak bisa dihindari, Sang Hakim mengampuni kita dan menghancurkan catatan-catatan kriminal kita. Betapapun mengagumkannya hal ini, ada aspek pembenaran yang bahkan lebih mengagumkan.

Saya pernah berada di ruang sidang, dan itu bukanlah tempat yang penuh keceriaan. Anda tidak dapat menjadi diri Anda sendiri. Adalah tidak pantas untuk tertawa keras atau mengangkat kaki Anda. Tidak seorang pun berpikir untuk bertemu hakim setelah sidang untuk makan es krim ataupun menonton pertandingan bola basket. Ada peraturan perilaku tertentu yang harus dipertahankan, formal dan mengintimidasi – dan memang dimaksudkan begitu. Hal ini tidak kurang benar di hadirat Hakim yang berdaulat.

Buka hampir di bagian mana saja dari Alkitab Anda dan Anda akan menemukan janji-janji menakjubkan dari Tuhan. Tandai satu dari yang di bahwa ini yang paling berarti buat Anda saat ini. * “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr 13:5). * “Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu” (1Kor 10:13) * “Barangsiapa percaya kepada-Ku akan melakukan pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa” (Yoh 14:12) * “Ia yang memulai pekerjaan yang baik diantara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp 1:6) * “Kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris” (Gal 4:7).

Tetapi ada perbedaan yang sangat besar antara pengadilan di surga dan di bumi. Setelah menyatakan kita bebas dari segala tuduhan dan penghakiman, Tuhan memilih untuk tidak pergi ke ruangan-Nya, seperti yang dikira. Tetapi, Ia mendobrak semua standard dengan turun dari bangku kayu, mengumpulkan kita di tangan-Nya, dan lalu menggendong kita dari ruang sidang ke ruang keluarga.

Memiliki Allah sebagai Bapa kita adalah sungguh mengagumkan. Firman Tuhan telah menjelaskan bahwa kita berhubungan dengan Tuhan dengan intim dan secara legal. Bukan itu saja, tetapi untuk menjadi anak-anak-Nya mendatangkan hak-hak khusus. Paulus mendeskripsikannya seperti ini: “Roh itu bersaksi bersam-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris – orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus” (Rom 8:17).

Sementara pembenaran bagi kita adalah pemberian gratis, pembenaran itu dibayar Allah dengan Anak-Nya. Pembenaran itu dibayar oleh nyawa Anak-Nya. Dan pembenaran itu dibayar oleh keangkuhan kita, karena satu-satunya cara untuk menerima pemberian ini adalah dengan datang kepada Tuhan dalam kerendahan hati dan pertobatatan iman.

Apa Semua Ini

Untuk Studi Lebih Lanjut: “Kekayaan” apakah yang Paulus deskripsikan di Kolose 2:2-3? Dimanakah “harta“ itu berada? Apakah Anda telah sepenuhnya mengambil keuntungan dari warisan ini?

Anak Allah, Ahli Waris Allah, Ahli Waris bersama Kristus. Apa arti semua itu? Mari kita bangun satu fakta penting. Yesus Kristus, Anak tunggal Allah, adalah ahli waris Bapa yang sah dan sebenarnya. Kalau ada warisan yang kita miliki itu hanya karena kita berada di “dalam Kristus” (Ef 2:7). Apalagi, Kristus sendiri adalah warisan ini. Dia adalah damai kita, Dia adalah kebenaran kita, pengharapan kita, penyucian dan penebusan kita. Di dalam Dia tersembunyi semua harta hikmad dan pengetahuan. Dialah kebangkitan dan hidup. Hal terbesar yang kita akan pernah terima dari Allah adalah Yesus sendiri.

Adalah juga penting untuk memahami bahwa keselamatan datang bukan melalui sebuah doktrin melainkan melalui sebuah Individu. Kita tidak diselamatkan oleh pembenaran, tetapi oleh Yesus. Waktu kita mengambil waktu untuk mempelajari Firman Tuhan kita menghadapi resiko menjadi seorang ahli doktrin tetapi tidak kompeten dalam pengetahuan sejati akan Tuhan kita. Dan mengenal Tuhan adalah segalanya.

Untuk Studi Lebih Lanjut: Bagaimana seseorang yang hidup melalui pengalaman tercatat di 2 Korintus 11:23-33 bisa menulis Roma 15:13??

Seorang kawan saya mengatakan pada saya cerita berikut ini tentang Scott McGregor, orang Kristen berdedikasi dan seorang pelempar bola baseball kidal yang terkenal untuk Baltimore Orioles di tahun 70 dan 80an. Suatu ketika, di satu momen genting di dalam permainan, Scott menemukan dirinya berhadapan dengan seorang pemukul bola berbahaya dengan orang-orang pencetak angka. Ia mengambil waktu cukup untuk mempelajari situasi ketika seorang wanita tidak sabar di kotak tempat duduk di belakang kandang pemain Orioles berteriak, “Yesus Kristus! Lempar bolanya!”

Baca Matius 7:21-23 dan jawab pertanyaan-pertanyaan berikut: * Hal-hal terpuji apakah yang orang-orang ini capai? * Apakah empat kata penilaian Tuhan terhadap mereka? * Dalam satu kalimat, bagaimana Anda akan merangkum kesalahan fatal mereka?

Bukan tidak umum untuk mendengar nama Tuhan digunakan sembarangan di permainan bola. Tetapi dalam peristiwa ini McGregor begitu tersentak sehingga ia hampir kehilangan konsentrasi. Setelah mengembalikan dirinya sendiri, ia dapat melempar dengan benar dan pemukulan bola berakhir. Lalu ia melakukan sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh pemain. Ketika ia berjalan kembali ke kandang pemain ia menatap langsung ke wanita tadi dan bicara dengannya. Dalam nada yang terganggu namun lembut, penuh keprihatinan terhadap wanita itu dan Tuhannya, ia berkata, “Ibu, kalau kamu sungguh mengenal Dia, kamu tidak akan pernah menyebut nama-Nya seperti itu.”

McGregor mendemonstrasikan bahwa Kekristenan adalah lebih dari sekedar sebuah kebenaran untuk dipercayai. Kekristenan adalah sebuah kehidupan untuk dijalani dan, di atas segalanya, satu Tuhan untuk dicintai.

Waktu memikirkan sesuatu seluas, seajaib warisan yang kita miliki di dalam Kristus, digambarkan Paulus sebagai “kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah” (Ef 2:7), sangat sulit untuk mengetahui dimana harus mulai. Menariknya, Paulus juga memiliki masalah yang sama. Di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, ia begitu terbawa oleh implikasi pembenaran yang begitu besar. Saat ia berusaha menghubungkan semua yang Tuhan telah lakukan dan sedang lakukan di pasal pertama, ia mulai dengan kalimat di ayat tiga yang berakhir sampai sebelas ayat kemudian. Secara tata bahasa memang tidak cantik, namun hatinya yang penuh mengalir memberi kesaksian akan anugerah Tuhan yang tidak terselami.

Perikop berikut dari surat Paulus kepada jemaat di Roma menyediakan titik mula yang sangat bagus “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rom 5:1-2). John Stott menjelaskan pentingnya perikop ini:

Pasal-pasal awal dari [kitab Roma] didedikasikan untuk kebutuhan dan jalan pembenaran. Semua itu bertujuan menjelaskan bahwa semua manusia adalah berdosa di bawah penghakiman Allah yang adil, dan dapat dibenarkan hanya melalui penebusan yang di dalam Yesus Kristus – melalui anugerah semata, melalui iman saja. Di poin ini, setelah membeberkan kebutuhan dan penjelasan jalan pembenaran, Paulus meneruskan dengan menggambarkan buah-buahnya, hasil dari pembenaran dalam hidup sebagai anak dan ketaatan di dunia dan kehidupan lanjut yang penuh kemuliaan di surga (penekanan ditambahkan).[3]

Bab ini akan melihat tiga buah dari pembenaran: damai dengan Allah, pengampunan dosa, dan proses penyucian. Di bab terakhir buku ini kita akan mengkaji pengadopsian kita di dalam Kristus serta pengharapan kita akan kemuliaan di masa depan.

Damai dengan Allah

Perdamaian dengan Allah menggarisbawahi semua yang lain yang kita terima dalam Kristus. Perdamaian ini adalah hadiah yang menaruh berkat-berkat lain dalam perspektif. “Urusan utama dari injil Kristen adalah bukan untuk memberi kita berkat,” tulis D. Martyn Lloyd-Jones. “Tujuan utamanya adalah untuk mendamaikan kita dengan Allah.”[4] Berdamai dengan Allah berarti kita berada di posisi perujukan dengan-Nya. Pernyataan pembenaran telah menjauhkan semua halangan antara Allah dan manusia. Walau tentu saja ada yang namanya damai dari Allah yang subyektif (yang bisa dirasakan), apa yang ada di benak Paulus dalam Roma 5:1 adalah fakta obyektif bahwa injil telah menghapuskan segala sesuatu yang memisahkan kita dari Allah.

Renungkan Efesus 2:11-20. Apa yang Yesus lakukan terhadap penghalang permusuhan yang berdiri diantara diri-Nya dan kita?

Untuk mendamaikan berarti menyatukan apa yang telah terpisah karena pemusuhan. Contoh utama dari arti ini ditemukan di kotbah Stefen kepada Sanhedrin ketika ia menceritakan kembali peristiwa kehidupan Musa: “Pada keesokan harinya ia muncul pula ketika dua orang Israel sedang berkelahi, lalu ia berusaha mendamaikan mereka, katanya: Saudara-saudara! Bukankah kamu ini bersaudara? Mengapakah kamu saling menganiaya?” (Kis 7:26). Versi Alkitab King James menerjemahkan “mendamaikan” di konteks ini menjadi “membuat mereka satu kembali.” Kata Yunani yang dipakai adalah bentuk kata kerja dari kata yang biasa diterjemahkan “damai.” Apa yang penting bagi kita untuk diingat adalah bahwa sekarang, dari titik pandang Allah, tidak ada lagi permusuhan antara Allah dan mereka yang telah dibenarkan. Amarah dan murka-Nya terhadap dosa telah diekspresikan dengan adil dan dipuaskan penuh di Salib. Perseteruan telah berakhir. Perdamaian telah dibuat.

Tidak hanya konflik telah diselesaikan, tetapi semua masalah hukum yang berasal dari permusuhan sebelumnya telah dihapuskan, tidak pernah muncul lagi: “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi merkea yang ada di dalam Kristus Yesus…Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka?” (Rom 8:1,33). Kalau pengadilan tertinggi di jagad raya ini telah menyatakan kita benar, tidak ada gugatan yang bisa menempel.

"Ketika perang suci kita dengan Allah berakhir, ketika kita seperti Luther berjalan melalui pintu-pintu Surga, ketika kita dibenarkan oleh iman, perang itu berakhir untuk selamanya. Dengan pembersihan dari dosa dan pernyataan pengampunan ilahi kita memasuki perjanjian damai dengan Allah yang kekal. Buah sulung dari pembenaran kita adalah damai dengan Allah. Damai ini adalah damai yang kudus, damai yang tidak bercacat dan agung. Damai ini adalah damai yang tidak bisa dihancurkan.[5]" — R.C. Sproul

Berhati-hatilah bahwa frase “tidak ada penghukuman” tidak berarti “tidak ada tuduhan.” Kita telah menyinggungnya di bab pertama. Musuh jiwa kita meneruskan pekerjaan kotornya menyebarkan kata-kata yang melecehkan dan menembakan anak panah api, dan sering terjadi kita salah mengira pembetulan dan teguran Tuhan sebagai suara tuduhan iblis. Tetapi kenyataan bahwa Yesus telah mengambil tempat kita berarti kita tidak akan pernah harus berhadapan dengan penghukuman di penghakiman akhir. “Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?” (Rom 8:34). Dia yang satu-satunya memiliki otoritas untuk menghukum untuk selamanya telah memihak pada kita.

Bayangkan Anda sendiri memerintah sebuah bangsa berjumlah lima milyar orang. Sebuah berita mengatakan bahwa ada seorang warga yang mengadakan pemberontakan dan sedang membuat kekacauan di istana. Bukannya mengirim divisi tank bersenjata untuk menghentikan orang gila itu, Anda mengirim Pangeran. Dalam usaha menggapai si pemberontak, sang Pangeran terbunuh. Bagaimana Anda akan memperlakukan warga ini setelah ia ditangkap? * Musnahkan ia selamanya dari kerajaan * Membakar ia perlahan-lahan di atas api menyala * Menggantungnya dari pohon tertinggi di kota * Hukum dia dengan hidup dalam isolasi * Menjadikannya makanan bagi ular piton kerajaan * Mengampuninya, menerimanya, dan mengadopsinya menjadi anak Anda.

Mengetahui kita telah didamaikan dengan Allah membawa ketenangan bagi pikiran kita. Ini memampukan kita untuk mengalahkan rasa kuatir dan takut. Bahkan bila seluruh dunia melawan kita, kita tetap aman dalam Kristus. “Janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi,” Yesus menjelaskan kepada murid-murid-Nya, yang telah ditetapkan untuk menghadapi perlawanan hebat. “Aku akan menunjukkan kepadamu siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka” (Luk 12:4, 5). Allah, satu-satunya yang berharga untuk kita takuti, telah berinisiatif mengadakan perjanjian damai kekal dengan kita. Untuk orang Kristen yang dibangun di dalam kebenaran ini, bahkan ketakutan akan maut dikalahkan karena ancaman penghukuman tidak lagi eksis.

Pengampunan Dosa-Dosa

Renungkan Keluaran 34:5-7. Dalam kesadaran akan semua kualitas karakter Allah, apakah Anda menganggap penting bahwa Ia memilih untuk menekankan sifat-sifat ini ketika Ia menyatakan diri kepada Musa?

Berhubungan erat dengan perujukan dan damai dengan Allah adalah pengampunan dosa. Saya mungkin berlebihan, tetapi kelihatannya bagi saya kebenaran berharga ini berada dalam bahaya untuk dibenci. Ketika orang meratap. “Saya tahu saya telah diampuni, tetapi…,” saya tidak tahan untuk berpikir, Kamu tidak tahu bahwa kamu telah diampuni! Kalau kamu sungguh mengerti pengampunan masalahmu tidak akan terlihat seburuk itu. Seperti Lloyd-Jones implikasikan di dalam pernyatannya di halaman 63, kebutuhan terbesar manusia adalah pengampunan. Dan kalau Tuhan sudah mengampuni kita, masalah lain apapun yang kita punya pasti menjadi lebih kecil kalau dibandingkan.

Sekarang ini jarang terdengar orang-orang Kristen bersukacita karena diampuni Allah. Hal ini dapat dipahami di kultur yang memandang nilai diri yang rendah sebagai masalah yang lebih besar daripada diasingkan dari Allah. Namun kepekaan kita akan pengampunan secara langsung mempengaruhi kasih kita terhadap Allah. Itulah inti dari respon Tuhan terhadap Simon orang Farisi yang merasa diri benar. “Orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih,” kata Yesus padanya (Luk 7:47). Sebaliknya, mereka yang telah diampuni banyak – atau setidaknya menyadari betapa banyak mereka telah diampuni – banyak berbuat kasih. Setiap dari kita harus berada di kategori itu.

Apakah keraguan-keraguan ini menyebabkan Anda mempertanyakan pengampunan Allah? (tandai semua yang cocok)
  • Tuhan tidak dapat terus menerus mengampuni saya untuk dosa yang sama.
  • Saya mungkin telah diampuni, tetapi Tuhan belum melupakan.
  • Tidak ada yang gratis di dalam hidup – Tuhan pasti mengharapkan sesuatu bentuk pembayaran.
  • Saya bersalah atas dosa yang tidak dapat diampuni.
  • Setelah dosa nomor 491 Tuhan akan menolak saya (lihat Mat 18:22).

Pertimbangkan berikut ini:

Cerita berikut ini, diceritakan oleh Becky Pippert di dalam bukunya Hope Has Its Reasons, menunjukkan kekuatan pengampunan di dalam hidup seorang wanita. Berharga untuk dikutip secara panjang:

“Beberapa tahun yang lalu setelah saya selesai berbicara di sebuah konferensi, seorang wanita cantik datang ke podium. Ia tentu saja ingin bicara pada saya dan di saat saya berbalik menghadapnya, air mata keluar dari matanya. Kami pindah ke ruang dimana kami bisa bicara secara pribadi. Sangat jelas dari melihatnya bahwa ia sensitif tapi menderita. Ia menangis selagi ia mengatakan pada saya cerita berikut ini.

"Dalam hubungan terhadap dosa dan terhadap Tuhan, faktor penentu dari eksistansi saya bukanlah lagi masa lalu saya. Melainkan masa lalu Kristus.[6]" — Sinclair Ferguson

“Bertahun-tahun sebelumnya, ia dan tunangannya (yang sekarang ia nikahi) merupakan pekerja remaja di sebuah gereja konservatif besar. Mereka adalah pasangan yang cukup dikenal dan memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap anak-anak muda. Semua orang menghormati mereka dan sangat mengagumi mereka. Beberapa bulan sebelum mereka menikah mereka mulai melakukan hubungan seks. Hal itu membebankan mereka dengan rasa bersalah dan kemunafikan. Tapi lalu ia menemukan dirinya hamil. ‘Anda tidak dapat membayangkan apa implikasi dari mengakui hal ini kepada gereja,’ katanya. ‘Mengaku bahwa kami mengajarkan satu hal dan menjalani hal yang lain adalah tidak bisa ditoleransi. Jemaat ini sangat konservatif dan tidak pernah disentuh oleh skandal apapun. Kami merasa mereka tidak akan dapat menangani keadaan bila mengetahui situasi kami. Kamipun tidak akan dapat menanggung rasa malu.

Untuk Studi Lebih Lanjut: Baca Yesaya 59. Bagaimana Tuhan berespon terhadap kekurangan kita akan kekudusan yang begitu besar? (lihat ayat 16 dan 20)

‘Lalu kami membuat keputusan yang paling mengerikan yang saya pernah buat. Saya menggugurkan kandungan. Hari pernikahan saya adalah hari terburuk dalam seluruh hidup saya. Setiap orang di gereja tersenyum pada saya, berpikir saya adalah pengantin perempuan bersinar dalam kepolosan. Tetapi tahukah Anda apa yang berada di kepala saya di saat saya berjalan di menuju altar? Yang dapat saya katakan pada diri saya adalah, ‘Kamu adalah seorang pembunuh. Kamu terlalu sombong sehingga tidak dapat menanggung rasa malu dan penghinaan bila kamu membuka siapa dirimu. Tetapi saya tahu siapa kamu dan Tuhan juga. Kamu telah membunuh bayi yang tidak bersalah.’

“Ia menangis begitu dalam sehingga ia tidak dapat berbicara. Saat saya memeluknya sebuah pemikiran datang pada saya dengan sangat kuat. Tapi saya merasa takut untuk mengatakannya. Saya tahu kalau ini bukan dari Tuhan bahwa ini dapat sangat menghancurkan. Maka saya berdoa dalam hati untuk hikmad untuk menolongnya.

“Ia melanjutkan. ‘Saya tidak percaya bahwa saya melakukan sesuatu yang begitu mengerikan. Bagaimana bisa saya membunuh nyawa yang tidak bersalah? Bagaimana mungkin saya bisa melakukan hal seperti itu? Saya mencintai suami saya, kami memiliki empat anak yang manis. Saya tahu Alkitab mengatakan bahwa Tuhan mengampuni semua dosa-dosa kita. Tapi saya tidak dapat mengampuni diri saya sendiri! Saya telah mengaku dosa ini beribu kali dan saya masih merasakan rasa malu dan menderita itu. Pikiran yang paling menghantui saya adalah bagaimana saya dapat membunuh nyawa yang tidak bersalah?’

“Saya mengambil nafas dalam dan mengatakan apa yang telah saya pikirkan. ‘Saya tidak tahu mengapa kamu begitu terkejut. Ini bukan pertama kali dosamu membawa kematian, ini adalah yang kedua.’ Ia melihat saya dengan penuh kebingungan. ‘Temanku sayang,’ saya melanjutkan, ‘ketika kamu melihat Salib, semua dari kita datang sebagai penyalib. Beragama atau tidak beragama, baik atau buruk, penggugur kandungan atau bukan penggugur kandungan – semua dari kita bertanggung jawab atas kematian dari satu-satunya orang tak bersalah yang pernah hidup. Yesus mati untuk dosa-dosa kita – masa lalu, sekarang, dan masa depan. Kamu pikir ada dosa-dosamu yang Yesus tidak perlu mati untuknya? Dosa kesombongan itu yang menyebabkan kamu menghancurkan anakmu adalah yang membunuh Kristus juga. Tidak peduli kamu tidak berada di sana dua ribu tahun yang lalu. Kita semua mengirim-Nya ke sana. Luther berkata bahwa kita membawa paku-paku-Nya itu di saku kita. Jadi kalau kamu telah melakukannya sebelumnya, lalu mengapa kamu tidak bisa melakukannya lagi?’

Renungkan Mazmur 32:1-5. Apa yang terjadi waktu kita menyimpan dosa-dosa kita? Apa yang terjadi waktu kita mengakuinya?

“Ia berhenti menangis. Ia melihat saya tepat di mata dan berkata, ‘Kamu sangat benar. Saya telah melakukan yang lebih buruk daripada membunuh bayi saya sendiri. Dosa sayalah yang telah membawa Yesus ke kayu Salib. Tidak peduli saya tidak berada di sana menancapkan paku, saya tetap bertanggung jawab atas kematian-Nya. Sadarkah Anda pentingnya ucapan yang Anda katakan pada saya, Becky? Saya datang pada Anda mengatakan saya telah melakukan hal terburuk yang bisa dibayangkan. Dan Anda mengatakan pada saya bahwa saya telah melakukan lebih buruk dari itu.’

Apakah Anda menemukan diri Anda dibebani oleh rasa bersalah ketika Anda mengingat sebuah dosa (atau dosa-dosa) spesifik dari masa lalu? Kalau begitu, carilah seorang Kristen yang dewasa yang kepadanya Anda dapat mengaku dan yang darinya Anda dapat menerima penguatan tentang besarnya pengampunan Tuhan. Tulislah keinginan Anda itu: “Percaya bahwa Tuhan ingin saya untuk melepaskan saya dari rasa bersalah, saya akan berbicara kepada __________________ tentang area dosa ini tidak lebih dari ______ ___________.”

“Saya menyeringai karena saya tahu itu adalah benar. (Saya tidak yakin bahwa pendekatan saya akan menjadi salah satu teknik konseling yang hebat!) Lalu ia berkata, ‘Tapi Becky, kalau Salib menunjukkan saya bahwa saya adalah lebih buruk daripada yang saya pernah bayangkan, Salib itu juga menunjukkan bahwa kejahatan saya telah diserap dan diampuni. Kalau hal terburuk yang manusia dapat lakukan adalah membunuh Anak Allah, dan itu dapat diampuni, lalu bagaimana bisa hal lain – bahkan aborsi – tidak diampuni?’

“Saya tidak akan pernah lupa rupa di matanya ketika ia duduk kembali dalam kekaguman dan dengan tenang berkata, ‘Bicara tentang anugerah yang besar.’ Kali ini ia menangis bukan karena penderitaan tapi karena rasa lega dan syukur. Saya melihat wanita yang sepenuhnya telah ditransform oleh pengertian yang benar akan Salib.”[7]

Pengampunan dosa adalah isu yang sangat penting. Ahli teologi English Puritan, John Owen, menulis sebuah essay tentang topik yang masih dianggap sebuah klasik. Eksposisi dari Mazmur 130 ini panjangnya lebih dari tiga ratus halaman, meskipun mazmur itu sendiri hanya terdiri dari delapan ayat. Pendahuluan dari editor memberikan beberapa masukan mengenai keadaan sekitar penulisan eksposisi itu. Sepertinya sebagai seorang pemuda Owen hanya memiliki pemahaman yang dangkal akan pengampunan Tuhan, “sampai Tuhan berkenan menengok saya dengan kesulitan yang menyakitkan, dimana saya dibawa ke mulut kubur, dan dimana jiwa saya tertekan oleh rasa ketakutan dan kegelapan; tapi Tuhan dengan murah hati membebaskan roh saya oleh aplikasi penuh kuasa dari Mazmur 130:4 yang darinya saya peroleh ajaran khusus, kedamaian dan penghiburan, dalam mendekat kepada Tuhan melalui Mediator, dan mengkotbahkannya langsung setelah saya sembuh.”[8]

"Ketika kamu menyadari semua yang dibayar Tuhan untuk mengampunimu, kamu akan dipegang seperti seorang sahabat, dibatasi oleh kasih Allah.[9]"

Mazmur 130:4, seperti kita lihat di atas, menunjukkan bahwa takut akan Tuhan adalah pertumbuhan natural dari penerimaan akan pengampunan-Nya. Pada saat kita muda dan sehat masalah lain dapat terlihat begitu lebih penting. Tapi saat mata kita terbuka pada hal-hal yang bersifat kekal, mengetahui apakah kita sungguh diampuni akan membuat masalah-masalah lain menjadi tidak penting.

Sanctification through Christ

Justification sets in motion the process called sanctification, by which we become more and more like Jesus. While justification leaves us forgiven and loved, it does nothing for our character. We’re still the same rascals we were before God saved us. It would be tragic if God were to leave us to ourselves. We would never grow, never change, never improve. Fortunately, although God loves us as we are, he loves us too much to leave us there.

Central to the doctrine of sanctification is the truth that we are united with Jesus Christ. In his book Men Made New, John Stott makes the following observation:

The great theme of Romans 6, and in particular of verses 1-11, is that the death and resurrection of Jesus Christ are not only historical facts and significant doctrines, but personal experiences of the Christian believer. They are events in which we ourselves have come to share. All Christians have been united to Christ in his death and resurrection. Further, if this is true, if we have died with Christ and risen with Christ, it is inconceivable that we should go on living in sin.”[10]

Perhaps you did a double-take when you hit that word “inconceivable.” Most of us find it inconceivable that we could possibly go on living outside of sin! Is victory over sin actually possible?

For Further Study: Read 1 Corinthians 15:51-58. Though this passage refers to the future, how can this truth strengthen you in your present battle against sin?
Here are two common answers. Some say Christians can expect a life of victory in the hereafter, but should set their sights low in the here and now. Others have had such dramatic deliverances from gross sin that they consider themselves practically immune to it. Both these extremes are way off target. While applying the lesson will require some spiritual effort, we have in the sixth chapter of Romans all the teaching we need to set us straight.

“What shall we say, then?” Paul asks (v.1). “Shall we go on sinning so that grace may increase?” He anticipates this question because a few verses earlier he said, “But where sin increased, grace increased all the more” (Ro 5:20). He knew that statement would lead some to reason as follows: “If God is glorified in forgiving sin and if grace increases in proportion to sin, why not sin all the more? Then there will be more grace and God will receive more glory!” What a self-serving and warped inference. That Paul even stated the matter this way indicates that his gospel had been subject to abuse. It’s worth noting, however, that Paul did not retract or reword the doctrine. If the gospel is rightly preached it will always be vulnerable to this misinterpretation.

"In justification our own works have no place at all and simple faith in Christ is the one thing needful. In sanctification our own works are of vast importance, and God bids us fight and watch and pray and strive and take pains and labour.�UNIQ407244ce6d8efe4d-ref-0000000F-QINU" — J.C. Ryle
Paul powerfully refutes his own suggestion that grace leads to further sin: “May it never be! Seeing that we have died to sin, how shall we still live in it?” (Ro 6:2, Cranfield’s translation). Our death to sin, as Paul explains in the following verses, is wrapped up in our union with a crucified Christ. When we believed on Jesus, we became united with him. A faith transaction occurred in which we were forever to be counted as “in Christ,” that is, spiritually joined to him. This union is symbolized by baptism. As Jesus died, was buried, and rose to live a new, empowered life, so we also died with him, were buried with him by baptism, and are raised up to live a new life in a new way.
After reading this chapter, a young but sincere Christian comes to you for help. “Paul says my old self has died and is buried with Christ,” she says. “So why does it feel so alive every time my exboyfriend drops by?” How would you answer? * “You must have a demon—let’s cast it out!” * “I guess you weren’t really saved after all.” * “Where’s your faith, sister?” * “Maybe your old self was just in a temporary coma.” * “Let’s look at the sixth and seventh chapters of Romans…”
The closest natural analogy of this union is marriage. My wife Clara and I have a shared identity (we both have the same last name) and are united in heart, mind, and body. We share our resources—everything I have is hers, and vice versa. As a result we are both enriched (though here’s where the analogy is weak—we gain a one-sided benefit in our union with Christ). Clara and I wear rings that symbolize the deeper truth of our oneness. But just as my ring doesn’t make me married, so baptism doesn’t make me a Christian. It comes after the fact of the faith transaction.
Meditate on Romans 6:17-18. We’re no longer slaves to sin, but we’re still slaves. To what has your new master called you?
What exactly does it mean to be dead to sin? I’m dead to sin in the sense that the guilt and penalty attached to sin (death) are no longer hanging over me. But beyond that, my relationship with sin has been radically changed. Before I was justified, I couldn’t help sinning. Now I am no longer under sin’s dominion. The master-slave relationship that once existed has been forever ended.Notice the language employed in Romans 6:12-14: “Do not let sin reign…Do not offer the parts of your body to sin…Sin shall not be your master.” This is the language of slavery and Paul says it no longer applies. Our obligation to sin has been ended—by death.

Our death to sin through our union with Christ has far-reaching implications. Any problems or habits or memories or hang-ups that currently influence your thoughts and behavior need not do so any longer. They can be successfully resisted. The person who was once dominated by them—your old self—has died. These sinful impulses are no longer your master.

"It’s not that I’m not able to sin, but that I’m able not to sin." — Arthur Wallis
Long before anyone popularized the claim that there are only two kinds of people in the world (for example, those who live in Oshkosh, Wisconsin and those who wish they lived there), John Owen made his own classification. He distinguished between those who were under the dominion of sin and those who thought they were under its dominion. A pastor consequently had two primary responsibilities, as Owen expressed it in the language of his day:
  1. To convince those in whom sin evidently hath the dominion that such indeed is their state and condition.
  2. To satisfy some that sin hath not the dominion over them, notwithstanding its restless acting itself in them and warring against their souls; yet unless this can be done, it is impossible they should enjoy solid peace and comfort in this life.[11]

It has been my privilege more than once to see people overcome longstanding problems and defiling habits through the diligent study and application of Romans 6. We need not remain imprisoned saints any longer. Once we become aware that we have been united with Christ in his death and resurrection, we’ll see he has opened wide the door of our deliverance.


Cite error: <ref> tags exist, but no <references/> tag was found
Navigation
Volunteer Tools
Other Wikis
Toolbox