This Great Salvation/Does Anyone Believe in Sin?/id

From Gospel Translations

(Difference between revisions)
Jump to:navigation, search
(New page: <noinclude> {{Languages|{{#titleparts:{{PAGENAME}}|2}}}} {{InfoBar |author=C.J. Mahaney, Robin Boisvert |editor=Greg Somerville |partnerurl=http://www.sovereigngraceministries.org |partner...)
(Does Anyone Believe in Sin?)
Line 9: Line 9:
}}
}}
-
= Does Anyone Believe in Sin?=
+
=Apakah Ada yang Percaya pada Dosa?=
</noinclude>
</noinclude>
-
One Saturday afternoon some years ago I was hard at work cleaning out the garage. My oldest son, then about four, was on hand to help…so to speak. I watched him as he eyed various dangerous items.  
+
Satu Sabtu sore beberapa tahun yang lalu saya sedang bekerja keras membersihkan garasi. Putra sulung saya, berusia sekitar empat tahun saat itu, bersiap membantu…boleh dikatakan. Saya memperhatikannya saat ia menatap berbagai benda-benda berbahaya.
-
“What’s this, Dad?”
+
“Apa ini, Pa?”
-
“That’s Daddy’s wood chisel. Don’t touch it.”  
+
“Itu pisau pemotong kayu milik Papa. Jangan menyentuhnya.”
-
“What’s this, Dad?”  
+
“Apa ini, Pa?”
-
“That’s the gasoline can. Stay away from it, please. Hey! Don’t pick up that saw, son.”  
+
“Itu kaleng bensin. Menjauhlah dari sana. Hei, jangan mengambil gergaji itu, Nak.”  
-
Things went on like that for a while until, finally exasperated, my son blurted out, “Daddy! Everything you tell me not to do is just what I want to do!”  
+
Percakapan seperti itu berlangsung untuk beberapa saat sampai, akhirnya merasa lelah, putra saya berseru, “Papa! Semua yang Papa katakan untuk tidak aku lakukan adalah yang ingin aku lakukan!”
-
''Probably just what Adam said,'' I thought to myself. I could now rest secure in the knowledge that my son was an authentic member of the human race. And so it is with all of us.  
+
''Mungkin itulah yang Adam katakan,'' pikir saya pada diri sendiri. Saya sekarang dapat merasa yakin mengetahui bahwa anak lelaki saya adalah anggota asli umat manusia. Dan begitu juga semua dari kita.
-
===What’s the Problem?===
+
=== Apa Masalahnya?===
-
Take an informal poll of neighbors, friends, and coworkers and ask them what they consider to be mankind’s most basic problem. The answer would likely be ignorance or a lack of education. “If people were just better - educated, if they could see the bigger picture, then there wouldn’t be all the difficulties,” they might tell you. “More sex education would prevent AIDS and unwanted pregnancies. More education could eliminate racism and the misunderstandings that separate people. Better education would enable the poor to get better jobs and avoid drugs and crime.”  
+
Coba adakan pemungutan suara non-formal dari tetangga, teman dan rekan kerja, dan tanyakan pada mereka apakah yang mereka anggap sebagai masalah manusia yang paling mendasar. Jawaban yang paling mungkin adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. “Kalau orang berpendidikan baik, mereka dapat melihat gambaran yang lebih besar, lalu tidak akan ada kesulitan-kesulitan,” mereka mungkin katakan. “Pendidikan seks yang lebih akan mencegah AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan lebih akan menghapus rasisme dan kesalahpahaman yang memecah manusia. Pendidikan yang lebih baik akan memampukan orang miskin untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menghindari obat-obatan terlarang serta kejahatan.”
-
Thomas Greer, in a recent Western Civilization textbook, states that during the eighteenth-century Enlightenment period, science and education were considered by important thinkers to be the answers to the human dilemma. Says Greer, “The world would never be quite the same again; the belief in science and education became a feature of the modern world. In the United States, founded at the peak of the Enlightenment, ''that belief has remained an article of national faith though it is being questioned today more than ever''” (emphasis added). <ref> Thomas Greer, ''A Brief History of the Western World, 5th Ed.'' (San
 
-
Diego, CA: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1987), p. 378.</ref> While it’s certainly true that ignorance claims its share of victims, there is a problem yet more basic.
 
-
{{LeftInsert|'''Meditate on Romans 1:22.''' What is God’s one-word assessment of man’s “enlightened” ideas?}}One of those questioning that “article of national faith” was the eminent psychiatrist Karl Menninger. In the early 1970s he wrote a small book with the provocative title, “Whatever Became of Sin?” In it he observed that the word “sin” and the concept it represented began to disappear from our culture around the middle of the twentieth century.
+
Thomas Greer, dalam textbook kontemporer Western Civilization, mengatakan bahwa selama masa Enlightenment di abad ke 18, ilmu pengetahuan dan pendidikan oleh pemikir-pemikir penting dianggap sebagai jawaban bagi dilema manusia. Greer berkata, “Dunia tidak akan pernah sama lagi; kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan pendidikan menjadi ciri dunia modern. Di Amerika Serikat, berdasar dari puncak Enlightenment, ''kepercayaan itu tetap menjadi sebuah artikel dari kepercayaan bangsa walaupun hal itu sekarang dipertanyakan lebih dari sebelumnya''” (penekanan ditambahkan). <ref> Thomas Greer, ''A Brief History of the Western World, 5th Ed.'' (San Diego, CA: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1987), p. 378.</ref> Walaupun sesungguhnya benar bahwa kebodohan mengklaim sejumlah korban, ada masalah yang lebih mendasar.
-
:In all of the laments and reproaches made by our seers and prophets, one misses any mention of ‘sin,’ a word which used to be a veritable watchword of prophets. It was a word once in everyone’s mind, but now rarely if ever heard. Does that mean that no sin is involved in all our troubles—sin with an ‘I’ in the middle? Is no one any longer guilty of anything? Guilty perhaps of a sin that could be repented or repaired or atoned for? Is it only that someone may be stupid or sick or criminal— or asleep? Wrong things are being done, we know; tares are being sown in the wheat field at night. But is no one responsible; is no one answerable for these acts? Anxiety and depression we all acknowledge, and even vague guilt feelings; but has no one committed any sins?…The very word ‘sin,’ which seems to have disappeared, was a proud word. It was once a strong word, an ominous and serious word. It described a central point in every civilized human being’s life plan and life style. But the word went away. It has almost disappeared—the word, along with the notion. Why? Doesn’t anyone sin anymore? Doesn’t anyone believe in sin? <ref> Karl Menninger, ''Whatever Became of Sin?'' (New York: Bantam Books, Inc., 1973), pp. 15–16.</ref>
+
-
Dr. Menninger should be applauded for going much further than others in his field. And he is surely correct in his observations as far as they go. A moral model of understanding human responsibilities and problems has been all but replaced by a medical model, so that individuals who commit heinous crimes are rarely referred to as “wicked” or “evil” or “sinful,” but as “sick” or “mentally ill” or “insane.” {{RightInsert|”The best prepration for the study of [justification] is neither great intellectual ability nor much scholastic learning but a conscience impressed with a sense of our actual condition as sinners in the sight of God.<ref>James Buchanan, The Doctrine of Justification (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1867, 1955), p. 222. </ref>” – James Buchanan}}A closer examination of Dr. Menninger’s book, however, shows that despite his appeal for society to reconsider sin as a means for understanding human nature, he himself has a grossly inadequate grasp of the issue. He views sin on an entirely horizontal level, the sin of one person against another or perhaps against oneself. To fully comprehend the nature of sin, though, we must recognize its vertical dimension: sin is primarily an ''offense toward God. ''
+
{{LeftInsert|'''Renungkan Roma 1:22.'''. Apakah satu kata evaluasi dari Tuhan terhadap ide-ide “penerangan”?}}Salah satu dari mereka yang mempertanyakan “artikel dari kepercayaan bangsa” itu adalah psikiater terkemuka Karl Menninger. Di awal tahun 1970 ia menulis sebuh buku kecil dengan judul provokatif, “Apa yang Terjadi dengan Dosa?Di dalamnya ia mengamati kata “dosa” dan konsep yang diwakili kata itu mulai menghilang dari budaya kita sekitar pertengahan abad duapuluh.
 +
:Di dalam semua ratapan dan peringatan yang dibuat oleh para pembimbing dan nabi kita, kata “dosa” tidak pernah disebut, kata yang digunakan sebagai kata peringatan yang absolut dari para nabi. Kata itu adalah kata yang suatu waktu berada di pikiran semua orang, tapi sekarang terdengarpun jarang. Apakah itu berarti tidak ada dosa yang terlibat dalam segala permasalahan kita – (dalam bahasa Inggris dosa adalah “sin” dengan huruf I yang berarti aku berada di tengah)? Apakah tidak ada lagi orang yang merasa bersalah akan sesuatu? Perasaan bersalah mungkin akan dosa yang bisa dipertobatkan atau diperbaiki atau ditebus? Ataukah orang hanya bodoh atau sakit atau kriminal – atau tertidur? Hal-hal yang salah dilakukan, kita tahu; ilalang disebarkan di padang gandum di malam hari. Tapi apakah ada orang yang bertanggung jawab; apakah tidak ada orang yang dapat memberi pertanggungan jawab atas perbuatan-perbuatan ini? Kegelisahan dan depresi kita semua tahu, dan bahkan perasaan bersalah yang samar-samar; tapi apakah tidak ada orang yang telah berbuat dosa?...Kata ‘dosa,’ yang sepertinya telah raib, adalah sebuah kata angkuh. Pada mulanya kata itu adalah kata yang kuat, sebuah kata yang memperingatkan dan serius. Kata itu menggambarkan titik pusat dalam setiap rencana dan gaya hidup dari manusia yang beradab. Tapi kata itu telah pergi jauh. Ia hampir saja punah – kata itu, bersama dengan konsepnya. Mengapa? Apakah tidak ada orang yang berbuat dosa lagi? Apakah tidak ada orang yang percaya pada dosa? <ref> Karl Menninger, ''Whatever Became of Sin?'' (New York: Bantam Books, Inc., 1973), pp. 15–16.</ref>
-
Psalm 51 provides us with a vivid example of this truth. In this psalm David pours out his heart to God in repentance. He had been outwardly rebuked by the prophet Nathan and inwardly convicted by the Spirit for his adultery with Bathsheba and for arranging the death of her husband as a cover-up. Yet in spite of what he had done, David cries to God, “Against you, you only have I sinned and done what is evil in your sight” (Ps 51:4). David was not denying his sin against Bathsheba and Uriah, but he was acknowledging the ugliest characteristic of any sin, regardless of its type: it is against God.  
+
Dr. Menninger harus diberi pujian yang besar karena mendalami bidangnya jauh melebih dari yang lain. Dan ia memang benar dalam observasinya. Sebuah model moral dari pengertian akan tanggung jawab dan permasalahan manusia semua telah digantikan oleh model kedokteran, sehingga individu-individu yang melakukan kejahatan mengerikan jarang disebut sebagai “jahat” atau ”bersifat iblis” atau “berdosa,” tetapi sebagai “sakit” atau “sakit jiwa” atau “sinting.”
 +
{{RightInsert|”Persiapan terbaik untuk studi [pembenaran] bukanlah kemampuan intelektual yang hebat ataupun banyak belajar tetapi hati nurani yang menyadari keadaan kita yang sebenarnya sebagai orang berdosa di mata Allah.<ref>James Buchanan, The Doctrine of Justification (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1867, 1955), p. 222. </ref>” – James Buchanan}}Namun mempelajari buku Dr. Menninger lebih dekat menunjukkan bahwa walaupun ia telah meminta pada masyarakat untuk mempertimbangkan kembali dosa sebagai alat untuk memahami sifat alami manusia, ia sendiri memiliki kekurang pahaman yang serius akan topik ini. Ia memandang dosa seluruhnya dari sisi horizontal, dosa satu orang terhadap orang yang lain atau mungkin terhadap diri sendiri. Untuk sepenuhnya memahami natur dari dosa, kita harus mengenal dimensi vertikalnya: dosa sesungguhnya adalah
 +
''pelanggaran terhadap Allah. ''
-
{{LeftInsert|'''For Further Study:'''<br>What three things does an inaccurate view of sin reveal about us? (See 1 John 1:8-10)}}Sin—what an ''unpleasant'' subject! And a difficult one, besides. But it is absolutely essential that we consider this matter, because if our perception of sin is incorrect, so will be our knowledge of God, Jesus Christ, the Holy Spirit, the law of God, the gospel, and the way of salvation. An accurate understanding of sin is the bottom button on the shirt of Christian theology. If it’s out of place, the whole garment will be hopelessly askew.  
+
Mazmur 51 memberikan kita sebuah contoh konkret akan kebenaran ini. Di dalam Mazmur ini Daud menuangkan isi hatinya kepada Tuhan dalam pertobatan. Ia telah ditegur secara terbuka oleh nabi Natan dan didalam dirinya telah ditegur oleh Roh Kudus atas perselingkuhan-nya dengan Batsyeba dan atas pengaturan kematian suami Batsyeba untuk menutupi perbuatannya. Tapi meskipun apa yang telah ia perbuat, Daud berseru kepada Tuhan, “Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:4). Daud tidak menyangkal dosanya kepada Batsyeba dan Uriah, tetapi ia mengakui karakeristik terburuk dari dosa manapun, apapun jenisnya: ia melawan Allah.
-
===The Seriousness of Sin===
+
{{LeftInsert|'''Untuk Studi Lebih Lanjut:'''<br> Tiga hal apakah yang dibukakan mengenai diri kita oleh pandangan yang tidak akurat tentang dosa? (Lihat 1 Yohanes 1:8-10)}}Dosa – betapa pokok bahasan yang  ''tidak menyenangkan''! Dan juga yang sulit. Tapi adalah yang sangat esensial bagi kita untuk memikirkan pokok ini, karena bila persepsi kita terhadap dosa tidak benar, begitu pula pengetahuan kita akan Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus, hukum Allah, Injil, dan jalan keselamatan. Pengertian yang akurat akan dosa adalah kancing dasar dari kemeja teologi Kristen. Kalau letaknya salah, seluruh baju akan menjadi sepenuhnya berantakan.
-
Minimizing sin is as common as sin itself. It’s not unusual to hear people refer to their own sin as a “weakness” or “shortcoming.” “Nobody’s perfect,” they say. They may even be courageous enough to admit, “I made an error in judgment.” But sin is no minor issue. If there is no sin, then there is no salvation. If we are not great sinners, then Christ is no great Savior.  
+
-
{{RightInsert|”Sin is the dare of God’s injustice, the rape of his mercy, the jeer of his patience, the slight of his power and the contempt of his love.<ref> John Bunyan from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 291. </ref>– John Bunyan}}The fact that we’re all affected by sin puts us at a disad- vantage in our attempt to understand it. On our own, we simply cannot come to clear views on the matter. Thankfully, God has provided us with his infallible Word on the subject. The beginning chapters of Genesis spell out humanity’s sinful dilemma, and the remainder of Scripture can be read as God’s solution to the problem.  
+
===Keseriusan Dosa===
 +
Mengecilkan dosa sama maraknya dengan dosa itu sendiri. Bukan hal yang tidak lazim untuk mendengar orang mengatakan dosanya sendiri sebagai “kelemahan” atau “kekurangan.” “Tidak ada orang yang sempurna,” kata mereka. Mereka bahkan cukup berani untuk mengakui, “Saya telah salah menilai.” Tapi dosa bukanlah sesuatu yang sepele. Kalau tidak ada dosa maka tidak ada keselamatan. Kalau kita bukanlah orang-orang berdosa besar, lalu Kristus bukanlah Juru Selamat yang besar.  
-
{{LeftInsert|'''Meditate on John 1:29.''' What’s the significance of the title John the Baptist gives Jesus? (See Exodus 12:21-23)}}Within the space of five short verses the Bible describes us as helpless, ungodly, sinners, and enemies of God (Ro 5:6-10). God’s Word tells us that sin is universal. Sin is deceitful. Sin is also tenacious and powerful. Sin is so overwhelming that only one force in the universe can overcome it. Only one force, resident in one Person, can overcome it because only one Person has ever been without it. As the angel told Mary, “You are to give him the name Jesus, because he will save his people from their sins” (Mt 1:21).  
+
{{RightInsert|”Dosa adalah penodaan keadilan Allah, pemerkosaan atas kemurahan-Nya, pengolok-olokan atas kesabaran-Nya, pengecilan akan kuasa-Nya dan kebencian terhadap kasih-Nya.<ref> John Bunyan from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 291. </ref>” – John Bunyan}}Fakta bahwa kita semua telah dipengaruhi oleh dosa meletakkan kita pada posisi yang tidak menguntungkan dalam usaha kita untuk memahami dosa. Sendirian, kita tidak bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang dosa. Puji syukur, Tuhan telah membekali kita dengan Firman-Nya yang tidak bercacat mengenai subyek ini. Pasal-pasal awal kitab Kejadian menyebutkan dilema dosa manusia, dan selebihnya dari Firman Tuhan dapat dibaca sebagai solusi Allah terhadap permasalahan dosa.  
-
Complementing the teaching of Scripture are the testimonies of godly men and women throughout the Church’s history who have been aware of their sinfulness in direct proportion to their nearness to God. Just listen to how these great saints of the Bible evaluated themselves:  
+
{{LeftInsert|'''Renungkan Yohanes 1:29.''' Apakah signifikansi dari titel yang diberikan Yohanes Pembaptis kepada Yesus? (Lihat Keluaran 12:21-23)}}Dalam jarak lima ayat singkat Alkitab mendeskripsikan kita sebagai tak berpengharapan, tak saleh, orang berdosa, dan musuh dari Allah (Rom 5:6-10). Firman Tuhan mengatakan bahwa dosa adalah universal. Dosa bersifat menipu. Dosa juga kukuh dan memiliki kekuatan. Dosa juga begitu membuat tak berdaya sehingga hanya satu kekuatan di alam semesta dapat mengalahkannya. Hanya satu kekuatan, tinggal di dalam satu Orang, dapat mengalahkan dosa karena hanya satu Orang yang pernah tanpa dosa. Seperti malaikat katakan pada Maria, “Engkau akan memberi-Nya nama Yesus, karena Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Mat 1:21).
-
David: “I have sinned against the Lord” (2Sa 12:13).
+
Kesaksian dari para pria dan wanita saleh sepanjang sejarah Gereja yang menyadari akan keberdosaan mereka seimbang dengan kedekatan mereka kepada Tuhan mendukung pengajaran Firman. Dengarkan saja bagaimana orang-orang kudus Alkitab ini mengevaluasi diri mereka:
 +
Daud: “Aku telah berdosa kepada Allah” (2 Sam 12:13)
-
Isaiah: “I am a man of unclean lips” (Isa 6:5).
+
Yesaya: “Aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:5)
-
Peter: “Go away from me, Lord; I am a sinful man!” (Lk 5:8)  
+
Petrus: “Pergilah daripadaku, Tuhan; aku orang berdosa!” (Luk 5:8)
-
{{RightInsert| Paul’s claim to be the worst of sinners must have been challenged many, many times since he wrote those words. What evidence could you present from the last 24 hours to argue that you are actually history’s worst sinner? (Think about it just long enough to genuinely repent, then go on.)}}Paul: “Christ Jesus came into the world to save sinners— of whom I am the worst” (1Ti 1:15).
 
-
Sin is the transgression of the law (1Jn 3:4). God gave the law and stands behind it. When we break God’s laws, he takes it personally. If we could see God standing behind every situation where his law is broken and feel his righteous anger, we would better comprehend the seriousness of sin.  
+
{{RightInsert| Klaim Paulus sebagai manusia paling berdosa pasti ditantang banyak kali karena ia menulis kata-kata itu. Bukti apa yang dapat Anda berikan dari 24 jam terakhir untuk berargumentasi bahwa Anda adalah sebenarnya manusia paling berdosa sepanjang sejarah? (Pikirkan dengan cukup lama supaya dapat setulusnya bertobat, lalu lanjutkan.)}}Paulus: “Yesus Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa - di antara mereka akulah yang paling berdosa” (1Tim 1:15).
-
{{LeftInsert|'''For Further Study:'''<br>Note the atrocities committed by Eli’s sons (1 Samuel 2:12-25) and God’s response (1 Samuel 2:27-34).}}The Israelite priest Eli reproved his foolish and immoral sons with these words: “If a man sins against another man, God may mediate for him; but if a man sins against the Lord, who will intercede for him?” (1Sa 2:25). Unfortunately, his words were too little and too late to turn his sons around. They were not sufficiently aware of the seriousness of sin.  
+
Dosa adalah pelanggaran hukum (1 Yoh 3:4). Tuhan memberikan hukum dan berdiri di belakangnya. Waktu kita melanggar hukum Tuhan, Tuhan menganggapnya personal. Bila kita dapat melihat Tuhan berdiri di belakang setiap situasi dimana hukum-Nya dilanggar dan merasakan kemarahan-Nya yang benar, kita akan dapat memahami keseriusan dosa dengan lebih baik.
-
===Welcome to the Pig Pen===
+
{{LeftInsert|'''Untuk Studi Lebih Lanjut:'''<br>Perhatikan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak Eli (1 Samuel 2:12-25) dan respons Tuhan
-
The essence of sin has been described as self-centeredness. This thought is captured well in Isaiah 53:6: “We all, like sheep, have gone astray, each of us has turned to his own way.” Let’s take a closer look at the implications of this verse.  
+
(1 Samuel 2:27-34).}}Imam Israel Eli menegur putra-putranya yang bodoh dan tidak bermoral dengan kata-kata ini: “Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang akan menjadi perantara baginya?”(1 Sam 2:25). Sayangnya, kata-katanya terlalu kecil dan terlalu terlambat untuk membuat putra-putranya berbalik. Mereka tidak cukup menyadari keseriusan dosa.  
-
''Like sheep.'' Among the least intelligent of all barnyard animals, sheep are usually unaware of danger until it’s too late.
 
-
''Gone astray.'' The natural tendency of sheep is to wander. Unless the shepherd keeps them in the flock, they quickly get off track.  
+
=== Selamat Datang di Kandang Babi===
 +
Esensi dosa telah digambarkan sebagai pemusatan pada diri sendiri. Pemikiran ini ditangkap jelas dalam Yesaya 53:6: “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri.” Mari kita melihat lebih dekat implikasi dari ayat ini.
-
{{LeftInsert|'''For Further Study:'''<br>Broaden your understanding of sin’s seriousness by reading Romans 8:6-7, Colossians 1:21, and Ephesians 2:1-2.}}''Each of us.'' Sin is a universal problem, affecting us all.  
+
''Seperti domba.'' Di antara semua binatang ternak yang berintelijensi rendah, domba biasanya tidak sadar akan bahaya sampai akhirnya terlalu terlambat untuk bertindak.
-
His own way. This is the heart of the matter. We want to live our lives without reference to the God who made us and sustains us, and to whom we are indebted for our next breath. Hear these words by William Ernest Henley, a “stray sheep” who seems to have been hardened in his own way:
+
''Sesat.'' Kecenderungan alami dari domba adalah berkeliaran. Kalau sang gembala tidak menjaga mereka tetap dalam satu kelompok, mereka akan cepat tersesat.  
-
:It matters not how strait the gate, How charged with punishment the scroll; I am the master of my fate, I am the captain of my soul. <ref> William Ernest Henley from ''Bartlett’s Familiar Quotations'' (New York: Little, Brown, and Company, 1919), p. 829.</ref>
+
-
The scope of sin is so great that the Bible uses many words to convey its appalling nature and disastrous effects. Wrapped up in that one little word are ideas such as rebellion, wickedness, confusion, shame, missing the mark, unfaithfulness, lawlessness, ignorance, disobedience, perversion, and more.  
+
{{LeftInsert|'''Untuk Studi Lebih Lanjut:'''<br> Perluas pemahaman Anda atas keseriusan dosa dengan membaca Roma 8:6-7, Kolose 1:21, dan Efesus 2:1-2.}}''Masing-masing kita. '' Dosa adalah masalah universal, mempengaruhi kita semua.
 +
''Jalannya sendiri. '' Ini adalah inti permasalahannya. Kita ingin menjalani kehidupan kita sendiri tanpa mempedulikan Tuhan yang telah menciptakan kita dan menopang kita, dan kepada siapa kita berhutang untuk nafas kita selanjutnya. Dengar kata-kata dari William Ernest Henley ini, seekor “domba tersesat” yang kelihatannya telah bersikeras dengan jalannya sendiri:
 +
:Tidak peduli bagaimana lurusnya pintu pagar, Bagaimana dipenuhi hukumannya gulungan kitab; Aku adalah tuan dari takdirku, Aku adalah kapten dari jiwaku. <ref> William Ernest Henley from ''Bartlett’s Familiar Quotations'' (New York: Little, Brown, and Company, 1919), p. 829.</ref>
-
Anyone reading the first three chapters of Paul’s letter to the Roman Christians is struck by his scathing indictment of the human race. Both Jew and Gentile are locked up in the bondage of sin. Paul’s words are so forceful and unequivocal that the reader’s tendency is to regard Paul’s reasoning as extreme. “Hey, he must be talking about Jack the Ripper or Adolf Hitler!” But he’s not. He’s talking about you and me. “There is no one righteous, not even one… There is no one who does good…all have sinned and fall short of the glory of God” (Ro 3:10, 12, 23). This paints an extremely uncomplimentary portrait of the human race.  
+
Ruang lingkup dosa begitu besar sehingga Alkitab menggunakan banyak kata untuk menyampaikan sifat mengerikannya serta akibatnya yang bersifat membawa bencana. Terbungkus di dalam satu kata kecil itu adalah ide-ide seperti pemberontakan, kekejian, kebingungan, rasa malu, tidak mencapai target, ketidaksetiaan, ketiadaan hukum, kebodohan, ketidaktaatan, penyimpangan, dan lebih lagi.
-
Part of our problem is that we tend to evaluate our sinfulness in relation to other people. Compared to Attila the Hun, I’m doing swell. But compared to Mother Teresa, I’m not. Unless God reveals the extent of our sin to us, we cannot discern our own depravity.  
+
Seseorang yang membaca tiga pasal pertama surat Paulus kepada orang Kristen di Roma dikejutkan oleh penghakimannya yang sarkastis terhadap umat manusia. Orang Yahudi dan non-Yahudi terkunci dalam ikatan dosa. Kata-kata Paulus begitu berkekuatan dan jelas sehingga kecenderungan pembaca adalah menganggap pemikiran Paulus sebagai ekstrim. “Hei, dia pasti sedang membicarakan tentang Jack the Ripper atau Adolf Hitler!” Bukan. Paulus sedang membicarakan Anda dan saya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak… Tidak ada yang berbuat baik... semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:10, 12, 23). Ayat ini melukiskan potret umat manusia yang sangat tidak terpuji.  
-
{{RightInsert|”He that hath slight thoughts of sin, never had great thoughts of God.<ref> William S. Plumer, ''The Grace of Christ'' (Philadelphia, PA: Presbyterian Board of Publication, 1853), p. 24.</ref>” – John Owen}}During the 1980s I lived in the beautiful farm country of Lancaster, Pennsylvania. Life there was pleasant in all respects but one: I never got used to the smell of manure. Pigs were by far the worst. But interestingly, though I found their odor disgusting, the pigs didn’t seem to mind in the least. As J.C. Ryle has put it, “The very animals whose smell is most offensive to us have no idea they are offensive and are not offensive to one another.” <ref>J.C. Ryle, ''Holiness'' (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1879, 1979), p. 65.</ref> Fallen man, it seems, can have no adequate idea what a vile thing sin is in the sight of a holy and perfect God.  
+
Sebagian dari masalah kita adalah kita cenderung mengevaluasi keberdosaan kita dalam hubungannya dengan orang lain. Dibandingkan dengan Attila the Hun, aku jauh lebih baik. Dibandingkan dengan Ibu Teresa, aku tidak. Kalau Tuhan tidak membukakan kepada kita seberapa luasnya dosa kita, kita tidak dapat membedakan kerusakan kita sendiri.
-
How did we fall into this sad state of affairs?
+
{{RightInsert|”Ia yang memiliki sedikit saja pemikiran akan dosa, tidak pernah memiliki pemikiran besar akan Allah. <ref> William S. Plumer, ''The Grace of Christ'' (Philadelphia, PA: Presbyterian Board of Publication, 1853), p. 24.</ref>” – John Owen}}Selama tahun 1980an saya tinggal di daerah pertanian yang indah di Lancaster, Pennsylvania. Hidup di sana sangat menyenangkan dalam segala hal kecuali satu: Saya tidak pernah tahan terhadap bau kotoran. Babi-babi adalah yang paling bau. Tapi menariknya, walaupun bagi saya baunya menjijikan, babi-babi itu tidak tampak terganggu sedikitpun. Seperti J.C. Ryle katakan, “Hewan yang baunya sangat menyerang kita tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka menyerang dan tidak menyerang satu sama lain.” <ref>J.C. Ryle, ''Holiness'' (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1879, 1979), p. 65.</ref> Manusia berdosa, tampaknya, tidak dapat memiliki cukup pemikiran betapa keji dosa di mata Allah yang kudus dan sempurna.
-
What ever happened to the human race?  
+
Bagaimana kita sampai jatuh ke dalam keadaan yang menyedihkan ini?  
-
===Can a Leopard Change Its Spots?===
+
Apa yang telah terjadi dengan umat manusia?  
-
In the fifth chapter of Romans (verses 12-21), Paul explains both the source of our sin and the source of our ultimate forgiveness. It should be noted at the outset that our discussion of man’s sinfulness relates to his natural state apart from grace. Through Christ’s redemptive work, man’s relationship to sin has been radically changed.
+
-
{{LeftInsert|Suppose God said to a man, “I want you to trim these bushes by three o’clock this afternoon. But be careful. There is a large open pit at the edge of the garden. If you fall into that pit, you will not be able to get yourself out. So whatever you do, stay away from that pit.
+
===Dapatkah Seekor Macan Tutul Mengganti Belangnya?===
 +
Di pasal kelima kitab Roma (ayat 12-21), Paulus menjelaskan sumber dari dosa dan sumber dari pengampunan kita yang paling penting. Harus dicatat di awal bahwa diskusi kita tentang keberdosaan manusia berhubungan dengan keadaan alaminya yang terpisah dari kasih karunia. Melalui pekerjaan penebusan Kristus, hubungan manusia dengan dosa telah berubah secara radikal.  
-
Suppose that as soon as God leaves the garden the man runs over and jumps into the pit. At three o’clock God returns and finds the bushes untrimmed. He calls for the gardener and hears a faint cry from the edge of the garden. He walks to the edge of the pit and sees the gardener helplessly flailing around on the bottom. He says to the gardener, “Why haven’t you trimmed the bushes I told you to trim?” The gardener responds in anger, “How do you expect me to trim these bushes when I am trapped in this pit? If you hadn’t left this empty pit here, I would not be in this predicament.”  
+
{{LeftInsert|Seumpama Tuhan berkata kepada manusia, “Aku ingin engkau untuk menggunting semak-semak ini sebelum pukul tiga sore ini. Tetapi hati-hati. Ada sebuah lubang besar di ujung taman. Kalau engkau jatuh ke dalam lubang itu, engkau tidak akan dapat mengeluarkan dirimu sendiri. Jadi apapun yang kamu lakukan, menjauhlah dari lubang itu.”
-
Adam jumped into the pit. In Adam we all jumped into the pit. God did not throw us into the pit. Adam was clearly warned about the pit. God told him to stay away. The consequences Adam experienced from being in the pit were a direct punishment for jumping into it…
+
Seumpama segera setelah Tuhan meninggalkan taman, manusia itu berlari dan melompat ke dalam lubang itu. Pada pukul tiga Tuhan kembali dan menemukan semak-semak belum digunting. Ia memanggil si tukang kebun dan mendengar suara tangis lemah dari ujung taman. Ia berjalan ke ujung lubang dan melihat si tukang kebun tanpa daya menggapai-gapai di dasar lubang. Ia berkata kepada si tukang kebun, “Mengapa engkau belum menggunting semak-semak yang Aku perintahkan padamu?” Si tukang kebun menjawab dengan marah, “Bagaimana Engkau menginginkan aku untuk menggunting semak-semak ini saat aku terjebak di dalam lubang ini? Kalau saja Engkau tidak meninggalkan lubang kosong di sini, aku tidak akan berada di situasi sulit ini.
-
We are born sinners because in Adam all fell. Even the word “fall” is a bit of a euphemism. It is a rose-colored view of the matter. The word “fall” suggests an accident of sorts. Adam’s sin was not an accident. He was not Humpty-Dumpty. Adam didn’t simply slip into sin; he jumped into it with both feet. We jumped headlong with him.<ref> R.C. Sproul, ''Chosen By God'' (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986), pp. 97–98.</ref> – R.C. Sproul}}Sin came upon all men because of the sin of one man—Adam. This is proven by the fact that all men die, physical death being the penalty for sin.
+
Adam melompat ke dalam lubang. Di dalam Adam kita semua melompat ke dalam lubang. Tuhan tidak melemparkan kita ke dalam lubang. Adam telah diperingatkan dengan jelas akan lubang itu. Tuhan menyuruhnya untuk menjauh. Konsekuensi yang Adam alami dengan berada di dalam lubang adalah hukuman langsung dari melompat ke dalamnya…
-
When I was a junior in high school, we studied the Puritan era in America. I recall seeing an illustration of a reading primer containing the following: “In Adam’s fall, we sinned all.” I can still remember how provoked I was by those words. At the time I thought, ''It’s just wrong to brainwash children like that! '' Then, thinking more in terms of myself, I really got upset. ''I don’t see why I should be dragged down with Adam. After all, I don’t know him from Adam!'' To say I found this doctrine offensive would be an understatement. It offends our sense of fairness. The natural man finds it extremely objectionable. (Which is one of the main reasons I now believe it’s true.)
+
Kita dilahirkan sebagai orang berdosa karena di dalam Adam kita semua telah jatuh. Bahkan kata “jatuh” adalah sedikit eufemisme (mengganti kata yang bermakna kuat dengan yang lebih lemah). Ini adalah pandangan berwarna mawar terhadap masalah. Kata “jatuh” mengimplikasikan sebuah kecelakaan. Dosa Adam bukanlah sebuah kecelakaan. Ia bukanlah Humpty-Dumpty. Adam tidak hanya tergelincir ke dalam dosa; ia melompat kedalamnya dengan dua kaki. Kita melompat bersamanya dengan kepala dahulu.<ref> R.C. Sproul, ''Chosen By God'' (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986), pp. 97–98.</ref> – R.C. Sproul}}Dosa memasuki seluruh manusia karena dosa satu orang manusia – Adam. Hal ini dibuktikan dari fakta bahwa semua manusia mati, kematian jasmani sebagai hukuman dari dosa.
-
Paul’s point in describing our inherent sinfulness is not to irritate but to inform. Understanding our relationship to Adam gives us a fresh appreciation for our relationship with Jesus Christ. Renowned pastor D. Martyn Lloyd-Jones has written, “If you say to me, ‘Is it fair that the sin of Adam should be imputed (charged) to me?’ I will reply by asking, ‘Is it fair that the righteousness of Christ should be imputed to you?’”<ref> D. Martyn Lloyd-Jones, ''Romans: Assurance, Chapter Five'' (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1972), p. 219.</ref>
 
-
Sin is the universal inheritance handed down from our common father, Adam. We are by nature guilty and antagonistic toward God. This teaching is known as original sin and it describes man’s fallen condition. It directly contradicts the idea that we all enter the world with a clean slate, sinless and innocent. Although man continues to bear the image and likeness of God, that image has been defaced. He is now like the ruins of an ancient temple. The marks of grandeur are still evident, but the glory has departed. As with a cracked mirror, the image remains but is largely distorted.  
+
Waktu saya masih di tahun ketiga sekolah menengah, kami mempelajari masa Puritan di Amerika. Saya ingat melihat ilustrasi dari sebuah interpretasi bacaan yang berisi seperti ini: “Di dalam kejatuhan Adam, kita semua berdosa.” Saya masih bisa mengingat betapa kata-kata tersebut membuat saya marah. Pada saat itu saya berpikir, ''Adalah salah mencuci otak anak-anak seperti itu!'' Kemudian, memikirkan kaitannya dengan diri saya sendiri, saya menjadi sangat kesal. ''Saya tidak bisa melihat mengapa saya harus diseret jatuh bersama Adam. Bagaimanapun saya tidak mengetahuinya dari Adam!'' Mengatakan bahwa saya menemukan doktrin ini bersifat menyerang hanyalah sebuah pernyataan remeh. Doktrin ini menyerang rasa keadilan kita. Manusia natural menemukan doktrin ini sangat tidak dapat diterima. (Yang merupakan salah satu alasan utama mengapa saya sekarang percaya bahwa doktrin itu adalah benar).
-
Original sin involves two further aspects:  
+
Inti Paulus menggambarkan keberdosaan yang menyatu dalam diri kita adalah bukan untuk mengusik kita tetapi untuk menginformasikan. Pengertian akan hubungan kita dengan Adam memberikan kita sebuah rasa menghargai yang baru untuk hubungan kita dengan Yesus Kristus. Pastor terkenal D. Martyn Lloyd-Jones menulis, “Kalau Anda berkata pada saya, ‘Apakah adil bila dosa Adam diimputasi kepada saya?’ Saya akan menjawab dengan bertanya, ‘Apakah adil kekudusan Kristus harus diimputasi kepada Anda?’”<ref> D. Martyn Lloyd-Jones, ''Romans: Assurance, Chapter Five'' (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1972), p. 219.</ref>
-
''Total depravity.'' This is a term generally misunderstood and therefore discounted. It does not mean that man is as bad as he could possibly be. That would be utter depravity. Total depravity indicates that sin’s corruption affects man in every part of his being: his mind, his emotions, his will, and his body. There is nothing in man that has not been affected by sin.  
+
Dosa adalah warisan universal diturunkan dari bapak kita semua, Adam. Secara natural, kita semua bersalah dan melawan Allah. Ajaran ini dikenal sebagai dosa asal dan hal itu menggambarkan kondisi manusia yang telah jatuh. Ajaran ini secara langsung berkontradiksi dengan pemikiran bahwa kita semua memasuki dunia dengan bersih, tak berdosa dan tak bersalah. Walaupun manusia terus menyandang peta dan teladan Allah, peta dan teladan itu telah menjadi rusak. Ia sekarang menjadi seperti puing-puing bait suci kuno. Tanda-tanda kebesaran masih terlihat, tetapi kemuliaan telah menjauh. Seperti sebuah kaca retak, bayangan masih terlihat namun sangat menyimpang.
-
''Total inability.'' This does not mean that man cannot do anything good by human standards. He can still perform outward acts of righteousness and may possess many fine qualities. But in regard to spiritual things, he is powerless. Even the “good” things he does are tainted by sin. To paraphrase the Westminster Confession on the subject, “having fallen into sin, man has completely lost his ability to do anything to contribute to his salvation.”
+
Dosa asal meliputi dua aspek lebih lanjut:
-
{{RightInsert|Which of the following suggest that even children are tainted by original sin?
+
''Kerusakan total.'' Ini adalah istilah yang secara umum disalah mengerti sehingga jadi bermakna rendah. Istilah ini tidak berarti bahwa manusia adalah seburuk yang ia bisa. Ini disebut kerusakan ''menyeluruh''. Kerusakan total mengindikasikan bahwa korupsi dosa mempengaruhi manusia di setiap bagian dari dirinya: pikirannya, emosinya, kehendaknya, dan tubuhnya. Tidak ada dari diri manusia yang tidak dipengaruhi oleh dosa.  
-
* The ease with which they learn to say “No!”
+
-
* The ease with which they can forget to do what they’re gold.
+
-
* The amazing way that two children can tend to want the same toy—the one they haven’t cared about for six weeks—at the same time, ignoring all other available toys.  
+
-
* The universality of tantrums and sulking.}}Donald MacLeod says, “[Total inability] means that conversion is beyond the capacity of the natural man.”<ref>Donald MacLeod from ''Gathered Gold'' (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 65.</ref> Apart from Christ, nothing that a man does can please God because he is neither motivated by God’s grace nor concerned for God’s glory. And God is supremely concerned with our motives.  
+
-
Jeremiah gives expression to total inability when he asks, “Can the Ethiopian change his skin or the leopard its spots? Neither can you do good who are accustomed to doing evil” (Jer 13:23). When Paul told the Ephesians that they had been dead in trespasses and sins, he was helping them understand not only the overwhelming grace of God in saving them, but their absolute need for that grace. A dead person can in no way participate in his salvation.  
+
''Ketidakmampuan total.'' Ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang baik menurut standar ''manusia''. Ia masih bisa melakukan perbuatan baik secara luar dan mungkin memiliki banyak kualitas baik. Tetapi dalam hal-hal ''spiritual'', ia lemah. Bahkan hal yang “baik” yang ia lakukan dicemari oleh dosa. Mengubah kalimat dari Westminster Confession tentang subyek ini, “setelah jatuh dalam dosa, manusia sepenuhnya kehilangan kemampuannya untuk melakukan apapun untuk menyumbang bagi keselamatannya.
-
So what happens after conversion? Is sin no longer present? Oh, if that were only the case! {{LeftInsert|'''For Further Study:'''<br>What role does water baptism play in our struggle against sin? (See Romans 6:1-11)}}Sin’s power over one who has been born again is certainly broken. Romans 6 clarifies that while the presence of sin is still a factor, our connection with it has been radically altered. The Holy Spirit now dwells within us, showing us the way to walk in God. We are no longer enslaved to sin. It doesn’t dominate or master us; we’re not obligated to obey sin’s promptings. {{RightInsert|”He who looks upon sin merely as a fiction, as a misfortune, or as a trifle, sees no necessity either for deep repentance or a great atonement. He who sees no sin in himself will feel no need of a Saviour. He who is conscious of no evil at work in his heart, will desire no change of nature. He who regards sin as a slight affair will think a few tears or an outward reformation ample satisfaction. The truth is no man ever thought himself a greater sinner before God than he really was. Nor was any man ever more distressed at his sin than he had just cause to be.<ref>William Plumer, ''The Grace of Christ,'' p. 20.</ref>” – William S. Plumer}}The threat of judgment no longer hangs over our heads. Yet we continue to feel sin’s influence.  
+
{{RightInsert| Yang mana yang menunjukkan bahwa bahkan anak-anak telah dicemari dosa asal?  
 +
* Mudahnya anak-anak belajar mengatakan “Tidak!”
 +
* Mudahnya mereka dapat melupakan berbuat seperti yang telah diberitahukan.  
 +
* Menakjubkannya bagaimana dua orang anak dapat menginginkan mainan yang sama – mainan yang mereka tidak pernah pedulikan selama enam minggu – pada saat yang bersamaan, tidak mempedulikan mainan lainnya yang tersedia.  
 +
* Keuniversalan marah-marah dan mengambek.}}Donald MacLeod mengatakan, “[Ketidakmampuan total] berarti pertobatan itu melebihi kapasitas manusia biasa.<ref>Donald MacLeod from ''Gathered Gold'' (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 65.</ref> Lepas dari Kristus, tidak ada yang manusia lakukan yang dapat menyenangkan Tuhan karena ia tidak dimotivasi oleh anugerah Tuhan ataupun merasa peduli akan kemuliaan Tuhan. Dan Tuhan sepenuhnya memperhatikan motivasi kita.
-
{{LeftInsert|What one or two words would you associate with the penalty of sin? The power of sin? The presence of sin? Write those under the appropriate headings below.<br>
+
Yeremia memberikan ekspresi tentang ketidakmampuan total ketika ia bertanya, “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yer 13:23). Ketika Paulus mengatakan kepada orang-orang Efesus bahwa mereka telah ''mati'' karena pelanggaran mereka, ia menolong mereka untuk mengerti tidak hanya anugerah Tuhan yang begitu agung dalam menyelamatkan mereka, tetapi juga kebutuhan absolut mereka akan anugerah itu. Orang yang telah mati tidak akan dapat berpartisipasi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
-
''Power -- Power -- Presence'''
+
 +
Lalu apa yang terjadi setelah pertobatan? Apakah dosa tidak lagi ada? Oh, seandainya saja itu yang terjadi! {{LeftInsert|'''Untuk Studi Lebih Lanjut:'''<br> Peran apa yang dimainkan air batisan dalam pergumulan kita melawan dosa? (Lihat Rom 6:1-11)}}Kekuatan dosa terhadap seseorang yang telah lahir kembali secara pasti telah dipatahkan. Roma 6 menjelaskan bahwa sementara kehadiran dosa masih menjadi sebuah faktor, hubungan kita dengan dosa telah diubahkan secara radikal. Roh Kudus sekarang tinggal di dalam kita, menunjukkan kita jalan untuk berjalan dalam Tuhan. Kita tidak lagi diperhamba oleh dosa. Dosa tidak mendominasi atau menguasai kita; kita tidak berkewajiban mematuhi bujukan dosa. {{RightInsert|” Ia yang melihat dosa hanya sebagai sebuah fiksi, sebagai sebuah kemalangan, atau sebagai sebuah tetes, melihat tidak adanya kebutuhan baik untuk pertobatan yang mendalam maupun penebusan yang besar. Ia yang melihat tidak ada dosa dalam dirinya sendiri akan merasa ia tidak membutuhkan seorang Juru Selamat. Ia yang tidak menyadari iblis bekerja di dalam hatinya, tidak akan menginginkan perubahan sifat. Ia yang menganggap dosa sebagai masalah sepele akan berpikir beberapa tetes air mata atau reformasi luar cukup memuaskan. Kebenarannya adalah tidak ada orang yang yang pernah menganggap dirinya orang yang lebih berdosa di hadapan Tuhan daripada keadaannya sesungguhnya. Tidak ada juga orang yang pernah lebih merasa menderita akan dosanya daripada yang telah ia sebabkan.<ref>William Plumer, ''The Grace of Christ,'' p. 20.</ref>” – William S. Plumer}}Ancaman penghakiman tidak lagi menggantung di kepala kita. Namun kita terus merakan pengaruh dosa.
-
}}One helpful way of understanding our deliverance from sin employs three different verb tenses: We ''have been'' delivered from the ‘''penalty''' of sin; we ''are being'' delivered from the ‘''power''' of sin; we ''shall be'' delivered from the ‘''presence''' of sin. Nevertheless, as ironic as it sounds, the closer one walks with God, the greater will be his knowledge and awareness of sin. I recall as a child being fascinated by dust particles dancing about in a ray of light beaming through the window. The dust was everywhere present, but was only made visible by the light. So also with sin. It is made manifest by the light of God’s Word and Spirit. The stronger the light, the more evident the dust.
 
-
===Ugly Weeds with Deep Roots ===
+
{{LeftInsert| Satu atau dua kata apa yang dapat Anda kaitkan dengan hukuman dosa? Kekuatan dosa? Kehadiran dosa? Tulis jawaban Anda di bawah judul masing-masing di bawah. <br>
-
As a lover of old books, especially the writings of the Puritans, I have often found myself struggling with the emphasis earlier generations put on sin, even in the lives of the converted. ''Where was the victory in their lives?'' I wondered during my initial encounters with their writings. I’ve since come to understand that their awareness of sin, as acute as it was, did not exceed their awareness of the grace and mercy of God in forgiveness of that sin.  
+
''Hukuman -- Kekuatan -- Kehadiran'''}}Satu cara yang membantu kita untuk mengerti pembebasan kita dari dosa memiliki tiga kata keterangan waktu yang berbeda: ''kita telah'' dibebaskan dari ‘''hukuman''' dosa; kita ''sedang'' dibebaskan dari ‘''kekuatan''' dosa; kita ''akan'' dibebaskan dari ‘''kehadiran''' dosa. Tetapi, seironis kedengarannya, semakin dekat seseorang berjalan bersama Tuhan, semakin besar pengetahuan dan kesadarannya akan dosa. Saya ingat ketika masih kecil dikagumkan oleh partikel debu yang menari di dalam cahaya yang bersinar melalui jendela. Debu itu ada di mana-mana, tetapi hanya dapat dilihat dengan cahaya. Begitu juga dengan dosa. Dosa dimanifestasi oleh cahaya Firman Tuhan dan Roh Kudus. Semakin kuat cahaya itu, semakin terlihat debu itu.
-
{{RightInsert|'''Meditate on Romans 5:20-21.''' How does an awareness of sin deepen our gratitude for the grace of God?}}Consider Jonathan Edwards, for example, known as much for his holy life as for his great learning. Edwards referred to having a “vastly greater sense of my own wickedness and the badness of my heart than ever I had before my conversion”—a sign of spiritual health, in his opinion! <ref>Jonathan Edwards, ''The Works of Jonathan Edwards, Vol. 1'' (Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1974), p. xlvii.</ref> His descendant and biographer, Serano Dwight, felt the need to explain his grandfather’s thinking. It wasn’t that Edwards had more wickedness, wrote Dwight, but that he had a greater sense of it. He then clarified his observation with an analogy:
+
=== Ilalang Buruk dengan Akar yang Dalam ===
-
:Suppose a blind man had a garden full of ugly and poisonous weeds. They are present in his garden but he is not aware of them. Now suppose that garden is, for the most part, cleared of the weeds, and many beautiful and worthwhile plants and flowers have replaced them. The man then regains his sight. There are ''fewer'' weeds, but he is more aware of them. So, the clearer our spiritual vision, the greater our awareness of sin. <ref>Ibid.</ref>
+
Sebagai pencinta buku-buku lama, terutama tulisan-tulisan dari Puritan, saya seringkali menemukan diri saya bergumul dengan penekanan terhadap dosa yang diberikan oleh generasi terdahulu, bahkan di dalam kehidupan orang-orang yang telah bertobat. ''Di manakah kemenangan dalam hidup mereka?'' Saya merasa heran pada saat saya pertama membaca tulisan-tulisan itu. Sejak itu saya menjadi mengerti bahwa kesadaran mereka akan dosa, seberapa tajamnya itu, tidak melebihi kesadaran mereka akan anugerah dan kemurahan Tuhan dalam pengampunan dosa itu.  
-
{{LeftInsert|I have no tolerance for those who exalt psychology above Scripture, intercession, and the perfect sufficiency of our God. And I have no encouragement for people who wish to mix psychology with the divine resources and sell the mixture as a spiritual elixir. Their methodology amounts to a tacit admission that what God has given us in Christ is not really adequate to meet our deepest needs and salve our troubled lives.<ref>John MacArthur, Jr., ''Our Sufficiency in Christ'' (Dallas, TX: Word Publishing, 1991), p. 70.</ref>” – John MacArthur, Jr.}}The following words by J.C. Ryle provide an eloquent conclusion for our chapter on the doctrine of sin: Sin—this infection of nature does remain, yes even in them that are regenerate. So deeply planted are the roots of human corruption, that even after we are born again, renewed, washed, sanctified, justified, and made living members of Christ, these roots remain alive in the bottom of our hearts and, like the leprosy in the walls of the house, we never get rid of them until the earthly house of this tabernacle is dissolved. Sin, no doubt, in the believer’s heart, no longer has dominion. It is checked, controlled, mortified, and crucified by the expulsive power of the new principle of grace. The life of a believer is a life of victory and not of failure. But the very struggles that go on within him, the fight that he finds it needful to fight daily, the watchful jealousy he is obliged to exercise over his inner man, the contest between the flesh and the spirit, the inward groanings which no one knows but he who has experienced them—all testify to the same great truth: the enormous power and vitality of sin…. Happy is the believer who understands it and, while he rejoices in Christ Jesus, has no confidence in the flesh, and while he says thanks be to God who gives us the victory, never forgets to watch and pray lest he fall into temptation.<ref>J.C. Ryle, ''Holiness'', p. 5.</ref>
+
{{RightInsert|'''Renungkan Roma 5:20-21.'''. Bagaimana kesadaran akan dosa memperdalam rasa syukur kita akan anugerah Tuhan?}}Pertimbangkan Jonathan Edwards, contohnya, dikenal karena kehidupannya yang kudus serta ajarannya yang hebat. Edwards mengatakan memiliki “rasa akan kebejatan diri saya sendiri dan keburukan hati saya sendiri yang sangat lebih besar daripada yang saya rasakan sebelum pertobatan” – sebuah tanda kesehatan rohani, menurut pendapatnya! <ref>Jonathan Edwards, ''The Works of Jonathan Edwards, Vol. 1'' (Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1974), p. xlvii.</ref> Penerus dan penulis biografinya, Serano Dwight, merasakan kebutuhan untuk menjelaskan pemikiran kakeknya. Bukannya Edwards ''memiliki'' kejahatan lebih, tulis Dwight, melainkan ia memiliki ''kesadaran'' yang lebih akan kebejatannya. Ia lalu menerangkan observasinya dengan sebuah analogi:
 +
:Seumpama seorang buta memiliki sebuah taman penuh dengan ilalang buruk dan beracun. Ilalang-ilalang itu berada di taman tetapi ia tidak menyadarinya. Seumpama taman itu, sebagian besarnya, dibersihkan dari ilalang, dan banyak tumbuhan dan bunga-bunga indah dan berharga menggantikan ilalang-ilalang tadi. Orang buta itu lalu memperoleh kembali penglihatannya. Ada ''lebih sedikit'' ilalang, tetapi ia lebih menyadarinya. Jadi, semakin terang penglihatan spiritual kita, semakin besar kesadaran kita akan dosa. <ref>Ibid.</ref>
 +
{{LeftInsert|Saya tidak memiliki toleransi bagi mereka yang menjunjung psikologi di atas Firman, doa syafaat, dan pengcukupan Allah yang sempurna. Dan saya tidak memiliki kata-kata penguatan bagi orang-orang yang mengharapkan untuk mencampur psikologi dengan sumber-sumber ilahi dan menjual campuran ini sebagai akses spiritual. Metodologi mereka membuat pernyataan bisu bahwa apa yang Tuhan telah berikan di dalam Kristus tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan terdalam kita dan menenangkan kehidupan kita yang bermasalah.<ref>John MacArthur, Jr., ''Our Sufficiency in Christ'' (Dallas, TX: Word Publishing, 1991), p. 70.</ref>” – John MacArthur, Jr.}}Kata-kata berikut dari J.C. Ryle memberikan rangkuman yang baik atas bab doktrin dosa kita:
-
==Group Discussion==
 
-
# Split the group into two teams, the “Science/ Education” side and the “Salvation” side. Let each team alternate in proposing social ills it could cure. Which team did the most good for humanity?
 
-
# “A moral model of understanding human responsibilities and problems has been all but replaced by a medical model,” says the author (Page 14). What evidence of that shift do you see in the body of Christ?
 
-
# Isn’t God mature enough not to be bothered by our insignificant little sins?
 
-
# On a scale of one to ten, rate what your lifestyle says about the seriousness of sin. (1 = not at all serious, 10 = very serious)
 
-
# How is the essence of sin defined? (Page 17) Do you agree?
 
-
# Read Romans 3:10-18 aloud. Be totally honest: Do you struggle with the fact that this describes you apart from God’s redeeming grace?
 
-
# What did we inherit from Adam? From Jesus?
 
-
# How would you explain “total inability” (Pages 19-20) to a non-Christian?
 
-
# Review the three tenses of our deliverance from sin (Pages 20-21). How did this explanation strike you?
 
-
# Discuss the final sentence in the concluding quotation by J.C. Ryle (Page 22).
 
 +
Dosa – infeksi secara natural tetap ada, ya bahkan di dalam mereka yang telah diperbaharui. Begitu dalamnya akar kejahatan manusia, sehingga bahkan setelah kita dilahirkan kembali, diperbaharui, dibasuh, disucikan, dibenarkan, dan dibuat anggota hidup dari Kristus, akar ini tetap hidup di dasar hati kita dan, seperti kusta di dinding rumah, kita tidak pernah meninggalkannya sampai rumah duniawi di tabernakel ini dihancurkan. Dosa, tidak diragukan lagi, di dalam hati orang percaya, tidak lagi memiliki kuasa. Dosa itu diperiksa, dikontrol, direndahkan, disalibkan oleh kuasa ekspulsif dari prinsip baru anugerah. Hidup orang percaya adalah hidup kemenangan dan bukan kegagalan. Tetapi pergumulan yang terjadi dalam batinnya, peperangan yang ia temukan perlu diperangi setiap hari, kecemburuan yang mengawasi yang harus dipraktekannya terhadap kehidupan batinnya, perseteruan antara daging dan roh, rintihan di dalam ''yang tak seorangpun tahu kecuali dia yang mengalaminya'' – semua membuktikan satu kebenaran besar:  kuasa dan kekuatan dosa yang besar….Berbahagialah orang percaya yang mengertinya, dan sementara ia bersukacita di dalam Yesus Kristus, tidak bergantung pada daging, dan sementaraa ia mengucap syukur pada Tuhan yang memberikan kita kemenangan, tidak pernah lupa untuk berjaga-jaga dan berdoa kalau tidak ia jatuh dalam pencobaan.”<ref>J.C. Ryle, ''Holiness'', p. 5.</ref>
-
==Recommended Reading==
+
 
 +
==Diskusi Kelompok==
 +
# Bagi kelompok menjadi dua tim, sisi “Ilmu Alam/Pendidikan” dan sisi “Keselamatan.” Biarkan setiap kelompok bergantian memberikan masukan penyakit sosial yang dapat mereka sembuhkan. Tim yang manakah yang melakukan paling banyak kebaikan bagi kemanusiaan?
 +
# “Model moral dari pengertian akan tanggung jawab dan permasalahan manusia semua telah digantikan oleh model kedokteran,” kata penulis (Halaman 14). Bukti apa yang Anda lihat di tubuh Kristus berkenaan dengan perubahan tersebut?
 +
# Bukankah Tuhan sudah cukup dewasa untuk tidak diusik oleh dosa kecil kita yang tidak penting?
 +
# Dalam skala satu sampai sepuluh, beri nilai apa yang gaya hidup Anda katakan tentang keseriusan dosa. (1 = sama sekali tidak serius, 10 = sangat serius)
 +
# Bagaimana esensi dosa didefinisikan? (Halaman 17) Apakah Anda setuju?
 +
# Baca Roma 3:10-18 dengan bersuara. Cobalah sepenuhnya jujur: Apakah Anda bergumul dengan kenyataan bahwa hal ini menggambarkan ''Anda'', lepas dari anugerah penebusan Tuhan?
 +
# Apa yang kita warisi dari Adam? Dari Yesus?
 +
# Bagaimana Anda menjelaskan “ketidakmampuan total” (Halaman 19-20) kepada orang non-Kristen?
 +
# Bahas lagi ketiga kata keterangan waktu akan pembebasan kita dari dosa (Halaman 20-21). Bagaimana penjelasan ini mengajarkan Anda?
 +
# Diskusikan kalimat terakhir di kutipan rangkuman dari J.C. Ryle (Halaman 22).
 +
 
 +
 
 +
==Bacaan yang Direkomendasikan==
* Chosen by God by R.C. Sproul (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986)  
* Chosen by God by R.C. Sproul (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986)  
-
== Notes ==  
+
== Catatan ==  
<references />
<references />

Revision as of 02:38, 16 October 2007

About This Resource
This text is provided in partnership with Sovereign Grace Ministries. It is part of the In Pursuit of Godliness series. We're grateful for their help in making biblical resources accessible to Christians all around the world!

Published: {{{date}}}
Translator: {{{translator}}}
Author(s): C.J. Mahaney, Robin Boisvert
Status: Not Reviewed
Editor: Greg Somerville


Contents

Apakah Ada yang Percaya pada Dosa?

Satu Sabtu sore beberapa tahun yang lalu saya sedang bekerja keras membersihkan garasi. Putra sulung saya, berusia sekitar empat tahun saat itu, bersiap membantu…boleh dikatakan. Saya memperhatikannya saat ia menatap berbagai benda-benda berbahaya.

“Apa ini, Pa?”

“Itu pisau pemotong kayu milik Papa. Jangan menyentuhnya.”

“Apa ini, Pa?”

“Itu kaleng bensin. Menjauhlah dari sana. Hei, jangan mengambil gergaji itu, Nak.”

Percakapan seperti itu berlangsung untuk beberapa saat sampai, akhirnya merasa lelah, putra saya berseru, “Papa! Semua yang Papa katakan untuk tidak aku lakukan adalah yang ingin aku lakukan!”

Mungkin itulah yang Adam katakan, pikir saya pada diri sendiri. Saya sekarang dapat merasa yakin mengetahui bahwa anak lelaki saya adalah anggota asli umat manusia. Dan begitu juga semua dari kita.

Apa Masalahnya?

Coba adakan pemungutan suara non-formal dari tetangga, teman dan rekan kerja, dan tanyakan pada mereka apakah yang mereka anggap sebagai masalah manusia yang paling mendasar. Jawaban yang paling mungkin adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. “Kalau orang berpendidikan baik, mereka dapat melihat gambaran yang lebih besar, lalu tidak akan ada kesulitan-kesulitan,” mereka mungkin katakan. “Pendidikan seks yang lebih akan mencegah AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan lebih akan menghapus rasisme dan kesalahpahaman yang memecah manusia. Pendidikan yang lebih baik akan memampukan orang miskin untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menghindari obat-obatan terlarang serta kejahatan.”


Thomas Greer, dalam textbook kontemporer Western Civilization, mengatakan bahwa selama masa Enlightenment di abad ke 18, ilmu pengetahuan dan pendidikan oleh pemikir-pemikir penting dianggap sebagai jawaban bagi dilema manusia. Greer berkata, “Dunia tidak akan pernah sama lagi; kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan pendidikan menjadi ciri dunia modern. Di Amerika Serikat, berdasar dari puncak Enlightenment, kepercayaan itu tetap menjadi sebuah artikel dari kepercayaan bangsa walaupun hal itu sekarang dipertanyakan lebih dari sebelumnya” (penekanan ditambahkan). [1] Walaupun sesungguhnya benar bahwa kebodohan mengklaim sejumlah korban, ada masalah yang lebih mendasar.

Renungkan Roma 1:22.. Apakah satu kata evaluasi dari Tuhan terhadap ide-ide “penerangan”?

Salah satu dari mereka yang mempertanyakan “artikel dari kepercayaan bangsa” itu adalah psikiater terkemuka Karl Menninger. Di awal tahun 1970 ia menulis sebuh buku kecil dengan judul provokatif, “Apa yang Terjadi dengan Dosa?” Di dalamnya ia mengamati kata “dosa” dan konsep yang diwakili kata itu mulai menghilang dari budaya kita sekitar pertengahan abad duapuluh.

Di dalam semua ratapan dan peringatan yang dibuat oleh para pembimbing dan nabi kita, kata “dosa” tidak pernah disebut, kata yang digunakan sebagai kata peringatan yang absolut dari para nabi. Kata itu adalah kata yang suatu waktu berada di pikiran semua orang, tapi sekarang terdengarpun jarang. Apakah itu berarti tidak ada dosa yang terlibat dalam segala permasalahan kita – (dalam bahasa Inggris dosa adalah “sin” dengan huruf I yang berarti aku berada di tengah)? Apakah tidak ada lagi orang yang merasa bersalah akan sesuatu? Perasaan bersalah mungkin akan dosa yang bisa dipertobatkan atau diperbaiki atau ditebus? Ataukah orang hanya bodoh atau sakit atau kriminal – atau tertidur? Hal-hal yang salah dilakukan, kita tahu; ilalang disebarkan di padang gandum di malam hari. Tapi apakah ada orang yang bertanggung jawab; apakah tidak ada orang yang dapat memberi pertanggungan jawab atas perbuatan-perbuatan ini? Kegelisahan dan depresi kita semua tahu, dan bahkan perasaan bersalah yang samar-samar; tapi apakah tidak ada orang yang telah berbuat dosa?...Kata ‘dosa,’ yang sepertinya telah raib, adalah sebuah kata angkuh. Pada mulanya kata itu adalah kata yang kuat, sebuah kata yang memperingatkan dan serius. Kata itu menggambarkan titik pusat dalam setiap rencana dan gaya hidup dari manusia yang beradab. Tapi kata itu telah pergi jauh. Ia hampir saja punah – kata itu, bersama dengan konsepnya. Mengapa? Apakah tidak ada orang yang berbuat dosa lagi? Apakah tidak ada orang yang percaya pada dosa? [2]

Dr. Menninger harus diberi pujian yang besar karena mendalami bidangnya jauh melebih dari yang lain. Dan ia memang benar dalam observasinya. Sebuah model moral dari pengertian akan tanggung jawab dan permasalahan manusia semua telah digantikan oleh model kedokteran, sehingga individu-individu yang melakukan kejahatan mengerikan jarang disebut sebagai “jahat” atau ”bersifat iblis” atau “berdosa,” tetapi sebagai “sakit” atau “sakit jiwa” atau “sinting.”

”Persiapan terbaik untuk studi [pembenaran] bukanlah kemampuan intelektual yang hebat ataupun banyak belajar tetapi hati nurani yang menyadari keadaan kita yang sebenarnya sebagai orang berdosa di mata Allah.[3]” – James Buchanan

Namun mempelajari buku Dr. Menninger lebih dekat menunjukkan bahwa walaupun ia telah meminta pada masyarakat untuk mempertimbangkan kembali dosa sebagai alat untuk memahami sifat alami manusia, ia sendiri memiliki kekurang pahaman yang serius akan topik ini. Ia memandang dosa seluruhnya dari sisi horizontal, dosa satu orang terhadap orang yang lain atau mungkin terhadap diri sendiri. Untuk sepenuhnya memahami natur dari dosa, kita harus mengenal dimensi vertikalnya: dosa sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap Allah.

Mazmur 51 memberikan kita sebuah contoh konkret akan kebenaran ini. Di dalam Mazmur ini Daud menuangkan isi hatinya kepada Tuhan dalam pertobatan. Ia telah ditegur secara terbuka oleh nabi Natan dan didalam dirinya telah ditegur oleh Roh Kudus atas perselingkuhan-nya dengan Batsyeba dan atas pengaturan kematian suami Batsyeba untuk menutupi perbuatannya. Tapi meskipun apa yang telah ia perbuat, Daud berseru kepada Tuhan, “Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:4). Daud tidak menyangkal dosanya kepada Batsyeba dan Uriah, tetapi ia mengakui karakeristik terburuk dari dosa manapun, apapun jenisnya: ia melawan Allah.

Untuk Studi Lebih Lanjut:
Tiga hal apakah yang dibukakan mengenai diri kita oleh pandangan yang tidak akurat tentang dosa? (Lihat 1 Yohanes 1:8-10)

Dosa – betapa pokok bahasan yang tidak menyenangkan! Dan juga yang sulit. Tapi adalah yang sangat esensial bagi kita untuk memikirkan pokok ini, karena bila persepsi kita terhadap dosa tidak benar, begitu pula pengetahuan kita akan Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus, hukum Allah, Injil, dan jalan keselamatan. Pengertian yang akurat akan dosa adalah kancing dasar dari kemeja teologi Kristen. Kalau letaknya salah, seluruh baju akan menjadi sepenuhnya berantakan.

Keseriusan Dosa

Mengecilkan dosa sama maraknya dengan dosa itu sendiri. Bukan hal yang tidak lazim untuk mendengar orang mengatakan dosanya sendiri sebagai “kelemahan” atau “kekurangan.” “Tidak ada orang yang sempurna,” kata mereka. Mereka bahkan cukup berani untuk mengakui, “Saya telah salah menilai.” Tapi dosa bukanlah sesuatu yang sepele. Kalau tidak ada dosa maka tidak ada keselamatan. Kalau kita bukanlah orang-orang berdosa besar, lalu Kristus bukanlah Juru Selamat yang besar.

”Dosa adalah penodaan keadilan Allah, pemerkosaan atas kemurahan-Nya, pengolok-olokan atas kesabaran-Nya, pengecilan akan kuasa-Nya dan kebencian terhadap kasih-Nya.[4]” – John Bunyan

Fakta bahwa kita semua telah dipengaruhi oleh dosa meletakkan kita pada posisi yang tidak menguntungkan dalam usaha kita untuk memahami dosa. Sendirian, kita tidak bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang dosa. Puji syukur, Tuhan telah membekali kita dengan Firman-Nya yang tidak bercacat mengenai subyek ini. Pasal-pasal awal kitab Kejadian menyebutkan dilema dosa manusia, dan selebihnya dari Firman Tuhan dapat dibaca sebagai solusi Allah terhadap permasalahan dosa.

Renungkan Yohanes 1:29. Apakah signifikansi dari titel yang diberikan Yohanes Pembaptis kepada Yesus? (Lihat Keluaran 12:21-23)

Dalam jarak lima ayat singkat Alkitab mendeskripsikan kita sebagai tak berpengharapan, tak saleh, orang berdosa, dan musuh dari Allah (Rom 5:6-10). Firman Tuhan mengatakan bahwa dosa adalah universal. Dosa bersifat menipu. Dosa juga kukuh dan memiliki kekuatan. Dosa juga begitu membuat tak berdaya sehingga hanya satu kekuatan di alam semesta dapat mengalahkannya. Hanya satu kekuatan, tinggal di dalam satu Orang, dapat mengalahkan dosa karena hanya satu Orang yang pernah tanpa dosa. Seperti malaikat katakan pada Maria, “Engkau akan memberi-Nya nama Yesus, karena Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Mat 1:21).

Kesaksian dari para pria dan wanita saleh sepanjang sejarah Gereja yang menyadari akan keberdosaan mereka seimbang dengan kedekatan mereka kepada Tuhan mendukung pengajaran Firman. Dengarkan saja bagaimana orang-orang kudus Alkitab ini mengevaluasi diri mereka: Daud: “Aku telah berdosa kepada Allah” (2 Sam 12:13)

Yesaya: “Aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:5)

Petrus: “Pergilah daripadaku, Tuhan; aku orang berdosa!” (Luk 5:8)


Klaim Paulus sebagai manusia paling berdosa pasti ditantang banyak kali karena ia menulis kata-kata itu. Bukti apa yang dapat Anda berikan dari 24 jam terakhir untuk berargumentasi bahwa Anda adalah sebenarnya manusia paling berdosa sepanjang sejarah? (Pikirkan dengan cukup lama supaya dapat setulusnya bertobat, lalu lanjutkan.)

Paulus: “Yesus Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa - di antara mereka akulah yang paling berdosa” (1Tim 1:15).

Dosa adalah pelanggaran hukum (1 Yoh 3:4). Tuhan memberikan hukum dan berdiri di belakangnya. Waktu kita melanggar hukum Tuhan, Tuhan menganggapnya personal. Bila kita dapat melihat Tuhan berdiri di belakang setiap situasi dimana hukum-Nya dilanggar dan merasakan kemarahan-Nya yang benar, kita akan dapat memahami keseriusan dosa dengan lebih baik.

Untuk Studi Lebih Lanjut:
Perhatikan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak Eli (1 Samuel 2:12-25) dan respons Tuhan (1 Samuel 2:27-34).

Imam Israel Eli menegur putra-putranya yang bodoh dan tidak bermoral dengan kata-kata ini: “Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang akan menjadi perantara baginya?”(1 Sam 2:25). Sayangnya, kata-katanya terlalu kecil dan terlalu terlambat untuk membuat putra-putranya berbalik. Mereka tidak cukup menyadari keseriusan dosa.


Selamat Datang di Kandang Babi

Esensi dosa telah digambarkan sebagai pemusatan pada diri sendiri. Pemikiran ini ditangkap jelas dalam Yesaya 53:6: “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri.” Mari kita melihat lebih dekat implikasi dari ayat ini.

Seperti domba. Di antara semua binatang ternak yang berintelijensi rendah, domba biasanya tidak sadar akan bahaya sampai akhirnya terlalu terlambat untuk bertindak.

Sesat. Kecenderungan alami dari domba adalah berkeliaran. Kalau sang gembala tidak menjaga mereka tetap dalam satu kelompok, mereka akan cepat tersesat.

Untuk Studi Lebih Lanjut:
Perluas pemahaman Anda atas keseriusan dosa dengan membaca Roma 8:6-7, Kolose 1:21, dan Efesus 2:1-2.

Masing-masing kita. Dosa adalah masalah universal, mempengaruhi kita semua. Jalannya sendiri. Ini adalah inti permasalahannya. Kita ingin menjalani kehidupan kita sendiri tanpa mempedulikan Tuhan yang telah menciptakan kita dan menopang kita, dan kepada siapa kita berhutang untuk nafas kita selanjutnya. Dengar kata-kata dari William Ernest Henley ini, seekor “domba tersesat” yang kelihatannya telah bersikeras dengan jalannya sendiri:

Tidak peduli bagaimana lurusnya pintu pagar, Bagaimana dipenuhi hukumannya gulungan kitab; Aku adalah tuan dari takdirku, Aku adalah kapten dari jiwaku. [5]

Ruang lingkup dosa begitu besar sehingga Alkitab menggunakan banyak kata untuk menyampaikan sifat mengerikannya serta akibatnya yang bersifat membawa bencana. Terbungkus di dalam satu kata kecil itu adalah ide-ide seperti pemberontakan, kekejian, kebingungan, rasa malu, tidak mencapai target, ketidaksetiaan, ketiadaan hukum, kebodohan, ketidaktaatan, penyimpangan, dan lebih lagi.

Seseorang yang membaca tiga pasal pertama surat Paulus kepada orang Kristen di Roma dikejutkan oleh penghakimannya yang sarkastis terhadap umat manusia. Orang Yahudi dan non-Yahudi terkunci dalam ikatan dosa. Kata-kata Paulus begitu berkekuatan dan jelas sehingga kecenderungan pembaca adalah menganggap pemikiran Paulus sebagai ekstrim. “Hei, dia pasti sedang membicarakan tentang Jack the Ripper atau Adolf Hitler!” Bukan. Paulus sedang membicarakan Anda dan saya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak… Tidak ada yang berbuat baik... semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:10, 12, 23). Ayat ini melukiskan potret umat manusia yang sangat tidak terpuji.

Sebagian dari masalah kita adalah kita cenderung mengevaluasi keberdosaan kita dalam hubungannya dengan orang lain. Dibandingkan dengan Attila the Hun, aku jauh lebih baik. Dibandingkan dengan Ibu Teresa, aku tidak. Kalau Tuhan tidak membukakan kepada kita seberapa luasnya dosa kita, kita tidak dapat membedakan kerusakan kita sendiri.

”Ia yang memiliki sedikit saja pemikiran akan dosa, tidak pernah memiliki pemikiran besar akan Allah. [6]” – John Owen

Selama tahun 1980an saya tinggal di daerah pertanian yang indah di Lancaster, Pennsylvania. Hidup di sana sangat menyenangkan dalam segala hal kecuali satu: Saya tidak pernah tahan terhadap bau kotoran. Babi-babi adalah yang paling bau. Tapi menariknya, walaupun bagi saya baunya menjijikan, babi-babi itu tidak tampak terganggu sedikitpun. Seperti J.C. Ryle katakan, “Hewan yang baunya sangat menyerang kita tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka menyerang dan tidak menyerang satu sama lain.” [7] Manusia berdosa, tampaknya, tidak dapat memiliki cukup pemikiran betapa keji dosa di mata Allah yang kudus dan sempurna.

Bagaimana kita sampai jatuh ke dalam keadaan yang menyedihkan ini?

Apa yang telah terjadi dengan umat manusia?

Dapatkah Seekor Macan Tutul Mengganti Belangnya?

Di pasal kelima kitab Roma (ayat 12-21), Paulus menjelaskan sumber dari dosa dan sumber dari pengampunan kita yang paling penting. Harus dicatat di awal bahwa diskusi kita tentang keberdosaan manusia berhubungan dengan keadaan alaminya yang terpisah dari kasih karunia. Melalui pekerjaan penebusan Kristus, hubungan manusia dengan dosa telah berubah secara radikal.

Seumpama Tuhan berkata kepada manusia, “Aku ingin engkau untuk menggunting semak-semak ini sebelum pukul tiga sore ini. Tetapi hati-hati. Ada sebuah lubang besar di ujung taman. Kalau engkau jatuh ke dalam lubang itu, engkau tidak akan dapat mengeluarkan dirimu sendiri. Jadi apapun yang kamu lakukan, menjauhlah dari lubang itu.”

Seumpama segera setelah Tuhan meninggalkan taman, manusia itu berlari dan melompat ke dalam lubang itu. Pada pukul tiga Tuhan kembali dan menemukan semak-semak belum digunting. Ia memanggil si tukang kebun dan mendengar suara tangis lemah dari ujung taman. Ia berjalan ke ujung lubang dan melihat si tukang kebun tanpa daya menggapai-gapai di dasar lubang. Ia berkata kepada si tukang kebun, “Mengapa engkau belum menggunting semak-semak yang Aku perintahkan padamu?” Si tukang kebun menjawab dengan marah, “Bagaimana Engkau menginginkan aku untuk menggunting semak-semak ini saat aku terjebak di dalam lubang ini? Kalau saja Engkau tidak meninggalkan lubang kosong di sini, aku tidak akan berada di situasi sulit ini.”

Adam melompat ke dalam lubang. Di dalam Adam kita semua melompat ke dalam lubang. Tuhan tidak melemparkan kita ke dalam lubang. Adam telah diperingatkan dengan jelas akan lubang itu. Tuhan menyuruhnya untuk menjauh. Konsekuensi yang Adam alami dengan berada di dalam lubang adalah hukuman langsung dari melompat ke dalamnya…

Kita dilahirkan sebagai orang berdosa karena di dalam Adam kita semua telah jatuh. Bahkan kata “jatuh” adalah sedikit eufemisme (mengganti kata yang bermakna kuat dengan yang lebih lemah). Ini adalah pandangan berwarna mawar terhadap masalah. Kata “jatuh” mengimplikasikan sebuah kecelakaan. Dosa Adam bukanlah sebuah kecelakaan. Ia bukanlah Humpty-Dumpty. Adam tidak hanya tergelincir ke dalam dosa; ia melompat kedalamnya dengan dua kaki. Kita melompat bersamanya dengan kepala dahulu.[8] – R.C. Sproul

Dosa memasuki seluruh manusia karena dosa satu orang manusia – Adam. Hal ini dibuktikan dari fakta bahwa semua manusia mati, kematian jasmani sebagai hukuman dari dosa.


Waktu saya masih di tahun ketiga sekolah menengah, kami mempelajari masa Puritan di Amerika. Saya ingat melihat ilustrasi dari sebuah interpretasi bacaan yang berisi seperti ini: “Di dalam kejatuhan Adam, kita semua berdosa.” Saya masih bisa mengingat betapa kata-kata tersebut membuat saya marah. Pada saat itu saya berpikir, Adalah salah mencuci otak anak-anak seperti itu! Kemudian, memikirkan kaitannya dengan diri saya sendiri, saya menjadi sangat kesal. Saya tidak bisa melihat mengapa saya harus diseret jatuh bersama Adam. Bagaimanapun saya tidak mengetahuinya dari Adam! Mengatakan bahwa saya menemukan doktrin ini bersifat menyerang hanyalah sebuah pernyataan remeh. Doktrin ini menyerang rasa keadilan kita. Manusia natural menemukan doktrin ini sangat tidak dapat diterima. (Yang merupakan salah satu alasan utama mengapa saya sekarang percaya bahwa doktrin itu adalah benar).

Inti Paulus menggambarkan keberdosaan yang menyatu dalam diri kita adalah bukan untuk mengusik kita tetapi untuk menginformasikan. Pengertian akan hubungan kita dengan Adam memberikan kita sebuah rasa menghargai yang baru untuk hubungan kita dengan Yesus Kristus. Pastor terkenal D. Martyn Lloyd-Jones menulis, “Kalau Anda berkata pada saya, ‘Apakah adil bila dosa Adam diimputasi kepada saya?’ Saya akan menjawab dengan bertanya, ‘Apakah adil kekudusan Kristus harus diimputasi kepada Anda?’”[9]

Dosa adalah warisan universal diturunkan dari bapak kita semua, Adam. Secara natural, kita semua bersalah dan melawan Allah. Ajaran ini dikenal sebagai dosa asal dan hal itu menggambarkan kondisi manusia yang telah jatuh. Ajaran ini secara langsung berkontradiksi dengan pemikiran bahwa kita semua memasuki dunia dengan bersih, tak berdosa dan tak bersalah. Walaupun manusia terus menyandang peta dan teladan Allah, peta dan teladan itu telah menjadi rusak. Ia sekarang menjadi seperti puing-puing bait suci kuno. Tanda-tanda kebesaran masih terlihat, tetapi kemuliaan telah menjauh. Seperti sebuah kaca retak, bayangan masih terlihat namun sangat menyimpang.

Dosa asal meliputi dua aspek lebih lanjut:

Kerusakan total. Ini adalah istilah yang secara umum disalah mengerti sehingga jadi bermakna rendah. Istilah ini tidak berarti bahwa manusia adalah seburuk yang ia bisa. Ini disebut kerusakan menyeluruh. Kerusakan total mengindikasikan bahwa korupsi dosa mempengaruhi manusia di setiap bagian dari dirinya: pikirannya, emosinya, kehendaknya, dan tubuhnya. Tidak ada dari diri manusia yang tidak dipengaruhi oleh dosa.

Ketidakmampuan total. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang baik menurut standar manusia. Ia masih bisa melakukan perbuatan baik secara luar dan mungkin memiliki banyak kualitas baik. Tetapi dalam hal-hal spiritual, ia lemah. Bahkan hal yang “baik” yang ia lakukan dicemari oleh dosa. Mengubah kalimat dari Westminster Confession tentang subyek ini, “setelah jatuh dalam dosa, manusia sepenuhnya kehilangan kemampuannya untuk melakukan apapun untuk menyumbang bagi keselamatannya.”

Yang mana yang menunjukkan bahwa bahkan anak-anak telah dicemari dosa asal?
  • Mudahnya anak-anak belajar mengatakan “Tidak!”
  • Mudahnya mereka dapat melupakan berbuat seperti yang telah diberitahukan.
  • Menakjubkannya bagaimana dua orang anak dapat menginginkan mainan yang sama – mainan yang mereka tidak pernah pedulikan selama enam minggu – pada saat yang bersamaan, tidak mempedulikan mainan lainnya yang tersedia.
  • Keuniversalan marah-marah dan mengambek.

Donald MacLeod mengatakan, “[Ketidakmampuan total] berarti pertobatan itu melebihi kapasitas manusia biasa.”[10] Lepas dari Kristus, tidak ada yang manusia lakukan yang dapat menyenangkan Tuhan karena ia tidak dimotivasi oleh anugerah Tuhan ataupun merasa peduli akan kemuliaan Tuhan. Dan Tuhan sepenuhnya memperhatikan motivasi kita.

Yeremia memberikan ekspresi tentang ketidakmampuan total ketika ia bertanya, “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yer 13:23). Ketika Paulus mengatakan kepada orang-orang Efesus bahwa mereka telah mati karena pelanggaran mereka, ia menolong mereka untuk mengerti tidak hanya anugerah Tuhan yang begitu agung dalam menyelamatkan mereka, tetapi juga kebutuhan absolut mereka akan anugerah itu. Orang yang telah mati tidak akan dapat berpartisipasi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Lalu apa yang terjadi setelah pertobatan? Apakah dosa tidak lagi ada? Oh, seandainya saja itu yang terjadi!
Untuk Studi Lebih Lanjut:
Peran apa yang dimainkan air batisan dalam pergumulan kita melawan dosa? (Lihat Rom 6:1-11)
Kekuatan dosa terhadap seseorang yang telah lahir kembali secara pasti telah dipatahkan. Roma 6 menjelaskan bahwa sementara kehadiran dosa masih menjadi sebuah faktor, hubungan kita dengan dosa telah diubahkan secara radikal. Roh Kudus sekarang tinggal di dalam kita, menunjukkan kita jalan untuk berjalan dalam Tuhan. Kita tidak lagi diperhamba oleh dosa. Dosa tidak mendominasi atau menguasai kita; kita tidak berkewajiban mematuhi bujukan dosa.
” Ia yang melihat dosa hanya sebagai sebuah fiksi, sebagai sebuah kemalangan, atau sebagai sebuah tetes, melihat tidak adanya kebutuhan baik untuk pertobatan yang mendalam maupun penebusan yang besar. Ia yang melihat tidak ada dosa dalam dirinya sendiri akan merasa ia tidak membutuhkan seorang Juru Selamat. Ia yang tidak menyadari iblis bekerja di dalam hatinya, tidak akan menginginkan perubahan sifat. Ia yang menganggap dosa sebagai masalah sepele akan berpikir beberapa tetes air mata atau reformasi luar cukup memuaskan. Kebenarannya adalah tidak ada orang yang yang pernah menganggap dirinya orang yang lebih berdosa di hadapan Tuhan daripada keadaannya sesungguhnya. Tidak ada juga orang yang pernah lebih merasa menderita akan dosanya daripada yang telah ia sebabkan.[11]” – William S. Plumer

Ancaman penghakiman tidak lagi menggantung di kepala kita. Namun kita terus merakan pengaruh dosa.


Satu atau dua kata apa yang dapat Anda kaitkan dengan hukuman dosa? Kekuatan dosa? Kehadiran dosa? Tulis jawaban Anda di bawah judul masing-masing di bawah.
Hukuman -- Kekuatan -- Kehadiran'

Satu cara yang membantu kita untuk mengerti pembebasan kita dari dosa memiliki tiga kata keterangan waktu yang berbeda: kita telah dibebaskan dari ‘hukuman' dosa; kita sedang dibebaskan dari ‘kekuatan dosa; kita akan dibebaskan dari ‘kehadiran dosa. Tetapi, seironis kedengarannya, semakin dekat seseorang berjalan bersama Tuhan, semakin besar pengetahuan dan kesadarannya akan dosa. Saya ingat ketika masih kecil dikagumkan oleh partikel debu yang menari di dalam cahaya yang bersinar melalui jendela. Debu itu ada di mana-mana, tetapi hanya dapat dilihat dengan cahaya. Begitu juga dengan dosa. Dosa dimanifestasi oleh cahaya Firman Tuhan dan Roh Kudus. Semakin kuat cahaya itu, semakin terlihat debu itu.

Ilalang Buruk dengan Akar yang Dalam

Sebagai pencinta buku-buku lama, terutama tulisan-tulisan dari Puritan, saya seringkali menemukan diri saya bergumul dengan penekanan terhadap dosa yang diberikan oleh generasi terdahulu, bahkan di dalam kehidupan orang-orang yang telah bertobat. Di manakah kemenangan dalam hidup mereka? Saya merasa heran pada saat saya pertama membaca tulisan-tulisan itu. Sejak itu saya menjadi mengerti bahwa kesadaran mereka akan dosa, seberapa tajamnya itu, tidak melebihi kesadaran mereka akan anugerah dan kemurahan Tuhan dalam pengampunan dosa itu.

Renungkan Roma 5:20-21.. Bagaimana kesadaran akan dosa memperdalam rasa syukur kita akan anugerah Tuhan?

Pertimbangkan Jonathan Edwards, contohnya, dikenal karena kehidupannya yang kudus serta ajarannya yang hebat. Edwards mengatakan memiliki “rasa akan kebejatan diri saya sendiri dan keburukan hati saya sendiri yang sangat lebih besar daripada yang saya rasakan sebelum pertobatan” – sebuah tanda kesehatan rohani, menurut pendapatnya! [12] Penerus dan penulis biografinya, Serano Dwight, merasakan kebutuhan untuk menjelaskan pemikiran kakeknya. Bukannya Edwards memiliki kejahatan lebih, tulis Dwight, melainkan ia memiliki kesadaran yang lebih akan kebejatannya. Ia lalu menerangkan observasinya dengan sebuah analogi:

Seumpama seorang buta memiliki sebuah taman penuh dengan ilalang buruk dan beracun. Ilalang-ilalang itu berada di taman tetapi ia tidak menyadarinya. Seumpama taman itu, sebagian besarnya, dibersihkan dari ilalang, dan banyak tumbuhan dan bunga-bunga indah dan berharga menggantikan ilalang-ilalang tadi. Orang buta itu lalu memperoleh kembali penglihatannya. Ada lebih sedikit ilalang, tetapi ia lebih menyadarinya. Jadi, semakin terang penglihatan spiritual kita, semakin besar kesadaran kita akan dosa. [13]
Saya tidak memiliki toleransi bagi mereka yang menjunjung psikologi di atas Firman, doa syafaat, dan pengcukupan Allah yang sempurna. Dan saya tidak memiliki kata-kata penguatan bagi orang-orang yang mengharapkan untuk mencampur psikologi dengan sumber-sumber ilahi dan menjual campuran ini sebagai akses spiritual. Metodologi mereka membuat pernyataan bisu bahwa apa yang Tuhan telah berikan di dalam Kristus tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan terdalam kita dan menenangkan kehidupan kita yang bermasalah.[14]” – John MacArthur, Jr.

Kata-kata berikut dari J.C. Ryle memberikan rangkuman yang baik atas bab doktrin dosa kita:


Dosa – infeksi secara natural tetap ada, ya bahkan di dalam mereka yang telah diperbaharui. Begitu dalamnya akar kejahatan manusia, sehingga bahkan setelah kita dilahirkan kembali, diperbaharui, dibasuh, disucikan, dibenarkan, dan dibuat anggota hidup dari Kristus, akar ini tetap hidup di dasar hati kita dan, seperti kusta di dinding rumah, kita tidak pernah meninggalkannya sampai rumah duniawi di tabernakel ini dihancurkan. Dosa, tidak diragukan lagi, di dalam hati orang percaya, tidak lagi memiliki kuasa. Dosa itu diperiksa, dikontrol, direndahkan, disalibkan oleh kuasa ekspulsif dari prinsip baru anugerah. Hidup orang percaya adalah hidup kemenangan dan bukan kegagalan. Tetapi pergumulan yang terjadi dalam batinnya, peperangan yang ia temukan perlu diperangi setiap hari, kecemburuan yang mengawasi yang harus dipraktekannya terhadap kehidupan batinnya, perseteruan antara daging dan roh, rintihan di dalam yang tak seorangpun tahu kecuali dia yang mengalaminya – semua membuktikan satu kebenaran besar: kuasa dan kekuatan dosa yang besar….Berbahagialah orang percaya yang mengertinya, dan sementara ia bersukacita di dalam Yesus Kristus, tidak bergantung pada daging, dan sementaraa ia mengucap syukur pada Tuhan yang memberikan kita kemenangan, tidak pernah lupa untuk berjaga-jaga dan berdoa kalau tidak ia jatuh dalam pencobaan.”[15]


Diskusi Kelompok

  1. Bagi kelompok menjadi dua tim, sisi “Ilmu Alam/Pendidikan” dan sisi “Keselamatan.” Biarkan setiap kelompok bergantian memberikan masukan penyakit sosial yang dapat mereka sembuhkan. Tim yang manakah yang melakukan paling banyak kebaikan bagi kemanusiaan?
  2. “Model moral dari pengertian akan tanggung jawab dan permasalahan manusia semua telah digantikan oleh model kedokteran,” kata penulis (Halaman 14). Bukti apa yang Anda lihat di tubuh Kristus berkenaan dengan perubahan tersebut?
  3. Bukankah Tuhan sudah cukup dewasa untuk tidak diusik oleh dosa kecil kita yang tidak penting?
  4. Dalam skala satu sampai sepuluh, beri nilai apa yang gaya hidup Anda katakan tentang keseriusan dosa. (1 = sama sekali tidak serius, 10 = sangat serius)
  5. Bagaimana esensi dosa didefinisikan? (Halaman 17) Apakah Anda setuju?
  6. Baca Roma 3:10-18 dengan bersuara. Cobalah sepenuhnya jujur: Apakah Anda bergumul dengan kenyataan bahwa hal ini menggambarkan Anda, lepas dari anugerah penebusan Tuhan?
  7. Apa yang kita warisi dari Adam? Dari Yesus?
  8. Bagaimana Anda menjelaskan “ketidakmampuan total” (Halaman 19-20) kepada orang non-Kristen?
  9. Bahas lagi ketiga kata keterangan waktu akan pembebasan kita dari dosa (Halaman 20-21). Bagaimana penjelasan ini mengajarkan Anda?
  10. Diskusikan kalimat terakhir di kutipan rangkuman dari J.C. Ryle (Halaman 22).


Bacaan yang Direkomendasikan


Catatan

  1. Thomas Greer, A Brief History of the Western World, 5th Ed. (San Diego, CA: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1987), p. 378.
  2. Karl Menninger, Whatever Became of Sin? (New York: Bantam Books, Inc., 1973), pp. 15–16.
  3. James Buchanan, The Doctrine of Justification (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1867, 1955), p. 222.
  4. John Bunyan from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 291.
  5. William Ernest Henley from Bartlett’s Familiar Quotations (New York: Little, Brown, and Company, 1919), p. 829.
  6. William S. Plumer, The Grace of Christ (Philadelphia, PA: Presbyterian Board of Publication, 1853), p. 24.
  7. J.C. Ryle, Holiness (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1879, 1979), p. 65.
  8. R.C. Sproul, Chosen By God (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986), pp. 97–98.
  9. D. Martyn Lloyd-Jones, Romans: Assurance, Chapter Five (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1972), p. 219.
  10. Donald MacLeod from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 65.
  11. William Plumer, The Grace of Christ, p. 20.
  12. Jonathan Edwards, The Works of Jonathan Edwards, Vol. 1 (Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1974), p. xlvii.
  13. Ibid.
  14. John MacArthur, Jr., Our Sufficiency in Christ (Dallas, TX: Word Publishing, 1991), p. 70.
  15. J.C. Ryle, Holiness, p. 5.
Navigation
Volunteer Tools
Other Wikis
Toolbox